Rupiah Terlemah Ketiga di Asia, BI Turun Tangan

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
12 April 2019 12:37
Faktor Eksternal dan Domestik Tak Mendukung
Ilustrasi Rupiah (REUTERS/Thomas White)
Dari sisi eksternal, rupiah cs di Asia tertekan karena dolar AS diuntungkan oleh sejumlah rilis data terbaru. Pada pekan yang berakhir 6 April, klaim tunjangan pengangguran turun 8.000 menjadi 196.000. Angka tersebut menjadi yang terendah sejak Oktober 1969. 

Kemudian inflasi di tingkat produksi pada Maret adalah 0,6% secara month-to-month (MoM). Lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 0,1% dan menjadi yang tertinggi sejak Oktober 2018. 

Data-data ini menunjukkan ekonomi Negeri Adidaya masih menggeliat. Memang ada gejala-gejala perlambatan, tetapi sepertinya tidak akan terjadi hard landing. Semua masih terkendali. 

Kemudian investor juga agak cemas dengan prospek di China, perekonomian terbesar di Asia. Kekhawatiran ini dipicu oleh pernyataan Wakil Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Mitsuhiro Furukawa. 

"Ketidakpastian menyangkut prospek pertumbuhan ekonomi di China menjadi faktor risiko yang besar. Penyebabnya adalah friksi dagang, yang tidak hanya mempengaruhi perdagangan tetapi juga investasi. Jika pertumbuhan ekonomi China lebih lambat dari perkiraan, maka risikonya akan mengglobal," tegas Furukawa kepada Reuters.

Untuk 2019, pemerintah China memperkirakan ekonomi tumbuh dalam kisaran 6-6,5%. Sementara IMF meramal di angka 6,3%. Padahal pertumbuhan ekonomi 6,6% pada 2018 saja adalah yang terlemah sejak 1990. 

Akibatnya, investor pun untuk sementara menjauhi pasar keuangan Asia. Tidak hanya di pasar valas, bursa saham Asia pun ramai-ramai ditinggalkan sehingga terkoreksi. Pada pukul 12:15 WIB, indeks Hang Seng turun 0,38%, Shanghai Composite minus 0,44%, dan Straits Times berkurang 0,16%. 

Sementara dari dalam negeri, ada kemungkinan investor mulai mengambil posisi jelang pengumuman data perdagangan internasional Indonesia pada awal pekan depan. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan pada Maret bakal defisit US$ 223,5 juta. Memburuk dibandingkan Februari yang surplus US$ 330 juta. 

Meski demikian, pelemahan rupiah tidak terlalu dalam karena 'dijaga' oleh Bank Indonesia (BI). Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menyatakan bank sentral selalu berada di pasar untuk memastikan kestabilan rupiah. 


Andai tidak ada pengawalan dari BI, bukan tidak mungkin rupiah melemah lebih dalam. Memang sulit melawan dolar AS yang sedang menjalankan misi balas dendam.



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular