The Fed Diyakini Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Nasib IHSG?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
10 April 2019 15:48
The Fed Diyakini Pangkas Suku Bunga, Bagaimana Nasib IHSG?
Foto: REUTERS/Iqro Rinaldi/File Photo
Jakarta, CNBC Indonesia - Normalisasi yang dilakukan oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS nampaknya akan segera usai, setidaknya itulah yang diyakini oleh pelaku pasar. Mulai mengerek tingkat suku bunga acuan sejak akhir 2015 silam, pelaku pasar kini begitu yakin bahwa tak akan ada kenaikan suku bunga acuan sepanjang tahun 2019.

Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 10 April 2019, probabilitas bahwa The Fed akan menahan Federal Funds Rate (FFR) di level 2,25%-2,5% di sepanjang tahun ini berada di level 46,1%.


Menariknya, terdapat keyakinan yang terus membesar bahwa tingkat suku bunga acuan justru akan dipangkas pada tahun ini. Masih melansir situs resmi CME Group, terdapat peluang sebesar 39,3% bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 25 bps pada tahun 2019, naik dari posisi sehari sebelumnya yang sebesar 37%. Jika dibandingkan posisi bulan sebelumnya yang sebesar 15,9% saja, maka lonjakannya menjadi lebih besar lagi.

Kemudian, probabilitas bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps adalah 12,5%.



Sebagai informasi, pada pertemuan bulan lalu The Fed memutuskan untuk menahan tingkat suku bunga acuan di level 2,25%-2,5%. Tak hanya menahan tingkat suku bunga acuan, The Fed juga memangkas proyeksinya atas kenaikan suku bunga acuan pada tahun ini.

Kini, The Fed memproyeksikan bahwa suku bunga acuan tak akan dinaikkan sama sekali di tahun 2019. Padahal pada Desember 2018, diproyeksikan ada kenaikan sebesar 50 bps. Keyakinan yang kian besar bahwa suku bunga acuan akan dipangkas oleh The Fed disebabkan oleh revisi ke bawah atas target pertumbuhan ekonomi AS oleh International Monetary Fund (IMF).

Kini, IMF memproyeksikan perekonomian AS hanya akan tumbuh sebesar 2,3% pada tahun ini, turun dari proyeksi yang dibuat pada bulan Januari yang sebesar 2,5%. Sebagai informasi, perekonomian AS tumbuh hingga 2,9% pada tahun lalu. Jika proyeksi dari IMF menjadi kenyataan, bisa dikatakan bahwa perekonomian AS mengalami hard landing pada tahun ini.

Kala perekonomian lesu bahkan sampai mengalami hard landing, tentu urgensi bagi bank sentral untuk melanjutkan normalisasi tingkat suku bunga acuan menjadi berkurang lantaran tekanan terhadap inflasi juga akan mereda.

Saat ini saja, inflasi di AS sudah terbilang rendah. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan personal consumption expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi adalah 2%.

Untuk data teranyar yakni periode Januari 2019, PCE price index tumbuh sebesar 1,4% YoY, jauh di bawah target The Fed dan merupakan pertumbuhan terlemah sejak September 2016 silam.

Jika proyeksi teranyar dari IMF menjadi kenyataan, tentulah tekanan terhadap kenaikan harga akan semakin lemah, sehingga masuk akal bila The Fed akan benar-benar menghentikan kenaikan suku bunga acuannya pada tahun ini.

Lebih lanjut, jika inflasi terus merosot, masuk akan juga jika The Fed pada akhirnya akan goyah dan malah memangkas tingkat suku bunga acuan seperti yang sudah disuarakan oleh Gedung Putih. Sekilas, tentu menjadi hal yang menggembirakan bagi pasar saham jika The Fed diyakini akan menahan, bahkan memangkas tingkat suku bunga acuan. Instrumen saham memang akan bekerja lebih baik dalam lingkungan suku bunga rendah.

Ketika suku bunga acuan dipatok di level yang rendah, suku bunga kredit akan menjadi rendah pula, mendorong produsen dan konsumen untuk menarik pinjaman yang pada akhirnya akan memacu laju perekonomian.

Namun, dengan perkembangan saat ini di mana perekonomian AS cenderung mengarah kepada hard landing, pelaku pasar akan memiliki kecenderungan untuk melepas instrumen berisiko seperti saham dan beralih memeluk safe haven seperti dolar AS.

Apalagi, perang dagang AS dengan China belum bisa diselesaikan, walaupun perkembangan negosiasi dagang kedua negara terbilang positif. Lebih lanjut, kini AS dihadapkan pada risiko perang dagang dengan Uni Eropa.

Presiden AS Donald Trump mengancam bakal mengenakan bea masuk kepada importasi produk-produk Benua Biru senilai US$ 11 miliar. Trump murka karena Uni Eropa dituding memberikan subsidi yang besar kepada Airbus, yang dinilainya sebagai praktik persaingan tidak sehat.

"Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menemukan bahwa Uni Eropa memberikan subsidi kepada Airbus yang kemudian mempengaruhi AS. Kami akan menerapkan bea masuk kepada (impor) produk Uni Eropa senilai US$ 11 miliar. Uni Eropa sudah mengambil keuntungan dari perdagangan dengan AS selama bertahun-tahun. Ini akan segera berakhir!" tegas Trump melalui cuitan di Twitter.

Sebelumnya, Kantor Perwakilan Dagang AS telah mengajukan daftar produk-produk asal Uni Eropa yang bisa dikenakan bea masuk sebagai pembalasan atas subsidi kepada Airbus. Daftar tersebut antara lain berisi pesawat penumpang dan suku cadangnya, produk turunan susu, sampai anggur (wine).

Jika perang dagang dengan China tak juga bisa diselesaikan dan perang dagang dengan Uni Eropa benar meletus, rasanya sulit bagi AS untuk menghindari yang namanya hard landing.

Di Indonesia sendiri, tekanan jual di pasar saham sudah mulai menerpa. Hingga berita ini ditulis, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melemah 0,32% ke level 6.463,35. Sementara itu, rupiah melemah 0,18% di pasar spot ke level Rp 14.155/dolar AS.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Investor Wait and See, IHSG Masih Bisa Terbang Tinggi?

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular