
Rupiah Taklukkan Asia!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 April 2019 14:32

Ada beberapa faktor yang menyebabkan rupiah begitu perkasa. Pertama adalah koreksi harga minyak dunia. Pada pukul 14:14 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet masing-masing turun 0,32% dan 0,3%.
Bagi Indonesia, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum mencukupi.
Saat harga minyak turun, ada harapan tekanan di transaksi berjalan (current account) akan ikut berkurang. Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah, karena menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika pos ini membaik, maka rupiah pun punya ruang untuk menguat.
Kedua, arus modal masih terus masuk terutama di pasar obligasi. Pada pukul 14:15 WIB, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 0,8 basis poin (bps). Penurunan yield merupakan pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan.
Sepertinya pasar obligasi masih merasakan dampak positif dari rilis data inflasi. Pada Maret 2019, laju inflasi tercatat 2,48% year-on-year (YoY) yang merupakan laju paling lambat sejak November 2009.
Artinya keuntungan riil dari obligasi tetap terjaga. Dengan yield obligasi 10 tahun yang saat ini ada di 7,596%, jika dikurangi inflasi maka keuntungan riil-nya adalah di 5,12%. Masih sangat menggiurkan.
Bandingkan dengan negara-negara Asia yang satu kelompok dengan rupiah. Misalnya Filipina, yield obligasi pemerintah 10 tahun di sana adalah 5,911%. Namun karena inflasi di sana adalah 3,8% YoY (posisi akhir Februari), pendapatan riil hanya 2,11%.
Lalu di India, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 7,313%. Sementara inflasi di Negeri Bollywood ada di 2,57% YoY (Februari) sehingga keuntungan riil adalah 4,74%.
Oleh karena itu, investor masih terus menyukai obligasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Derasnya arus modal ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN) sangat membantu menopang keperkasaan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Bagi Indonesia, penurunan harga minyak adalah berkah. Sebab, Indonesia adalah negara net importir minyak yang mau tidak mau harus mengimpor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri karena produksi yang belum mencukupi.
Saat harga minyak turun, ada harapan tekanan di transaksi berjalan (current account) akan ikut berkurang. Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi rupiah, karena menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Ketika pos ini membaik, maka rupiah pun punya ruang untuk menguat.
Sepertinya pasar obligasi masih merasakan dampak positif dari rilis data inflasi. Pada Maret 2019, laju inflasi tercatat 2,48% year-on-year (YoY) yang merupakan laju paling lambat sejak November 2009.
Artinya keuntungan riil dari obligasi tetap terjaga. Dengan yield obligasi 10 tahun yang saat ini ada di 7,596%, jika dikurangi inflasi maka keuntungan riil-nya adalah di 5,12%. Masih sangat menggiurkan.
Bandingkan dengan negara-negara Asia yang satu kelompok dengan rupiah. Misalnya Filipina, yield obligasi pemerintah 10 tahun di sana adalah 5,911%. Namun karena inflasi di sana adalah 3,8% YoY (posisi akhir Februari), pendapatan riil hanya 2,11%.
Lalu di India, yield obligasi pemerintah tenor 10 tahun ada di 7,313%. Sementara inflasi di Negeri Bollywood ada di 2,57% YoY (Februari) sehingga keuntungan riil adalah 4,74%.
Oleh karena itu, investor masih terus menyukai obligasi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Derasnya arus modal ke instrumen Surat Berharga Negara (SBN) sangat membantu menopang keperkasaan rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular