Selamat, Rupiah Kini Terbaik di Asia!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 April 2019 12:33
Selamat, Rupiah Kini Terbaik di Asia!
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) hari ini masih menguat di perdagangan pasar spot. Rupiah bahkan kini menjelma menjadi mata uang terkuat di Asia. 

Pada Kamis (4/4/2019) pukul 12:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.175. Rupiah menguat 0,28% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Isra Miraj. 

Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah agak menipis. Pada pukul 12:06 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.180 di mana rupiah menguat 0,25%. 

Membuka perdagangan pasar spot, rupiah menguat 0,21%. Seiring perjalanan pasar, apresiasi rupiah terus menebal. 

Kini dolar AS sudah berhasil ditekan ke bawah Rp 14.200. Rupiah pun menyentuh titik terkuat sejak 22 Maret. 

 


Di Asia, tidak banyak mata uang yang mampu menguat di hadapan dolar AS. Selain rupiah, mata uang yang berhasil menguat adalah yen Jepang, dolar Hong Kong, dan dolar Singapura. Itu pun dalam kisaran yang sangat terbatas. 

Oleh karena itu, penguatan 0,25% sudah cukup untuk membawa rupiah jadi mata uang terbaik di Asia. Dalam urusan menguat di hadapan greenback, tiada mata uang Benua Kuning yang sebaik rupiah. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:10 WIB: 

 



(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Sentimen domestik sepertinya menjadi kekuatan utama rupiah. Selepas akhir kuartal I, kebutuhan valas korporasi sudah tidak lagi banyak sehingga beban rupiah berkurang signifikan. Rupiah pun jadi punya lebih banyak ruang untuk menguat. 

Selain itu, arus modal juga terus masuk terutama di pasar obligasi pemerintah. Pada pukul 12:13 WIB, imbal hasil (yield) obligasi surat utang seri acuan tenor 10 tahun turun 0,9 basis poin (bps). Penurunan yield adalah pertanda harga obligasi sedang naik karena tingginya permintaan. 



Sepertinya pasar obligasi masih merasakan dampak positif dari rilis data inflasi. Pada Maret 2019, laju inflasi tercatat 4,28% year-on-year (YoY) yang merupakan laju paling lambat sejak November 2009. 

Artinya keuntungan riil dari obligasi tetap terjaga. Dengan yield obligasi 10 tahun yang saat ini ada di 7,595%, jika dikurangi inflasi maka keuntungan riil-nya adalah di 5,11%. Masih sangat menggiurkan. 

Masih seputar inflasi, investor juga sudah lega karena Bank Indonesia (BI) menyiratkan laju inflasi yang lambat belum cukup untuk membuat suku bunga acuan bisa diturunkan. Mirza Adityaswara, Deputi Gubernur Senior BI, menegaskan bahwa Indonesia masih punya satu pekerjaan rumah tersisa yaitu defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD). 

"Kalau kita lihat 2016 dan 2017, CAD kita sekitar 2% dari PDB (Produk Domestik Bruto). Saat itu FFR (Federal Funds Rate, suku bunga acuan AS) naik tetapi BI bisa turunkan bunga (acuan). Jadi, BI mau memastikan CAD itu menuju 2,5% PDB," jelas Mirza. 

Pada kuartal IV-2018, CAD Indonesia masih berada di 3,57% PDB. Artinya, jalan menuju ke 2,5% PDB masih butuh waktu dan sebelum itu bisa dipastikan maka BI mungkin masih belum berpikir soal menurunkan suku bunga acuan. 

Teka-teki soal arah BI 7 Day Reverse Repo Rate sedikit banyak sudah terjawab. Pasar tidak perlu lagi berspekulasi mengenai penurunan suku bunga acuan, yang berpotensi menyebabkan arus modal keluar (capital ouflows) terutama di pasar obligasi. 



TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular