
Sah, Rupiah Menguat 2 Hari Beruntun di Kurs Tengah BI!
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 April 2019 10:36

Rupiah cs di Asia berhasil memanfaatkan dolar AS yang sedang dalam posisi defensif. Pada pukul 10:09 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,09%.
Dolar AS memang agak rentan terserang koreksi teknikal karena penguatannya yang sudah cukup tajam. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index masih menguat 0,7% dan selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 0,74%. Bahkan dalam 3 bulan ini Dollar Index masih perkasa dengan penguatan mencapai 1,11%.
Keuntungan yang diperoleh investor dari dolar AS rasanya sudah lumayan tinggi. Akibatnya, ada godaan untuk melepas dolar AS sehingga nilainya menjadi melemah.
Selain itu, risk appetite investor memang sedang tinggi sehingga instrumen aman seperti dolar AS (dan yen Jepang) kekurangan peminat. Setidaknya ada dua sentimen yang membuat investor berani masuk ke aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertama adalah kekhawatiran soal resesi AS yang mereda akibat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang sudah tidak mengalami inversi. Pada pukul 10:15 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4014% sementara yang 10 tahun adalah 2,4369%.
Yield tenor panjang sudah lebih tinggi dibandingkan yang tenor pendek. Situasi kembali normal, tidak ada lagi inversi (setidaknya untuk saat ini).
Inversi yield tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar sepanjang pekan lalu. Maklum, inversi yield di dua seri ini menjadi sinyal terjadinya resesi.
Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi
Dengan situasi yang berangsur normal, kecemasan akan resesi di Negeri Adidaya pun menipis. Investor bisa menghembuskan nafas lega, tetapi entah untuk berapa lama.
Kedua adalah hawa damai dagang AS-China yang semakin terasa. Beijing memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk produk otomotif dan suku cadang made in the USA. Sedianya tarif bea masuk untuk produk ini akan naik dari 10% ke 25% mulai 2 April, tetapi kemudian ditunda.
Langkah ini ditempuh karena hubungan Beijing-Washington yang semakin kondusif. Pekan ini, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan melanjutkan dialog dagang dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di Washington.
Ketua Komisi Keuangan Senat AS Chuck Grassley membisikkan kepada Reuters bahwa AS-China tengah bersiap untuk menyepakati perjanjian damai dagang pada akhir April. Namun Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menegaskan bahwa perundingan dagang ini tidak terikat waktu.
"Intinya kami sudah mencapai kemajuan yang luar biasa terkait perlindungan atas hak kekayaan intelektual, perdagangan, pemaksaan transfer teknologi, dan manipulasi kurs," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Harapan damai dagang AS-China yang bisa terwujud dalam waktu dekat membuat pelaku pasar bergairah. Aset-aset di negara berkembang kembali menjadi incaran sehingga membuat mata uang Asia menguat, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Dolar AS memang agak rentan terserang koreksi teknikal karena penguatannya yang sudah cukup tajam. Dalam sepekan terakhir, Dollar Index masih menguat 0,7% dan selama sebulan ke belakang penguatannya adalah 0,74%. Bahkan dalam 3 bulan ini Dollar Index masih perkasa dengan penguatan mencapai 1,11%.
Selain itu, risk appetite investor memang sedang tinggi sehingga instrumen aman seperti dolar AS (dan yen Jepang) kekurangan peminat. Setidaknya ada dua sentimen yang membuat investor berani masuk ke aset berisiko di negara berkembang, termasuk Indonesia.
Pertama adalah kekhawatiran soal resesi AS yang mereda akibat imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang sudah tidak mengalami inversi. Pada pukul 10:15 WIB, yield obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan berada di 2,4014% sementara yang 10 tahun adalah 2,4369%.
Yield tenor panjang sudah lebih tinggi dibandingkan yang tenor pendek. Situasi kembali normal, tidak ada lagi inversi (setidaknya untuk saat ini).
Inversi yield tenor 3 bulan dan 10 tahun menjadi kekhawatiran utama pelaku pasar sepanjang pekan lalu. Maklum, inversi yield di dua seri ini menjadi sinyal terjadinya resesi.
Baca: Perhatian! Belajar dari Sejarah, AS Hampir Pasti Resesi
Dengan situasi yang berangsur normal, kecemasan akan resesi di Negeri Adidaya pun menipis. Investor bisa menghembuskan nafas lega, tetapi entah untuk berapa lama.
Kedua adalah hawa damai dagang AS-China yang semakin terasa. Beijing memutuskan untuk menunda kenaikan bea masuk produk otomotif dan suku cadang made in the USA. Sedianya tarif bea masuk untuk produk ini akan naik dari 10% ke 25% mulai 2 April, tetapi kemudian ditunda.
Langkah ini ditempuh karena hubungan Beijing-Washington yang semakin kondusif. Pekan ini, Wakil Perdana Menteri China Liu He akan melanjutkan dialog dagang dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di Washington.
Ketua Komisi Keuangan Senat AS Chuck Grassley membisikkan kepada Reuters bahwa AS-China tengah bersiap untuk menyepakati perjanjian damai dagang pada akhir April. Namun Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence 'Larry' Kudlow menegaskan bahwa perundingan dagang ini tidak terikat waktu.
"Intinya kami sudah mencapai kemajuan yang luar biasa terkait perlindungan atas hak kekayaan intelektual, perdagangan, pemaksaan transfer teknologi, dan manipulasi kurs," ungkap Kudlow, dikutip dari Reuters.
Harapan damai dagang AS-China yang bisa terwujud dalam waktu dekat membuat pelaku pasar bergairah. Aset-aset di negara berkembang kembali menjadi incaran sehingga membuat mata uang Asia menguat, termasuk rupiah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular