
Pasar Obligasi Sedang Sepi Sentimen dan Sepi Transaksi
Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
29 March 2019 19:02

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga obligasi rupiah pemerintah ditutup terkoreksi tipis pada perdagangan di hari terakhir Maret dan kuartal I-2019, di tengah sepinya transaksi dan sepinya sentimen yang menggerakkan pasar menjelang pemilihan presiden dalam 2 pekan ke depan.
Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan koreksi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Pergerakan harga dan yield obligasi saling bertolak belakang di pasar sekunder.
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 2,3 basis poin (bps) menjadi 8,12%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Tiga seri acuan lain juga kompak terkoreksi.
Head of Fixed Income PT Maybank Asset Management J. Richard Nadapdap menilai pasar obligasi sedang sepi transaksi karena relatif menunggu momentum pemilihan presiden.
"Betul, sedang menuggu pemilu," ujarnya sore ini.
Kondisi sepi sentimen masih terjadi karena dari luar negeri sentimen dari perang dagang dan Brexit serta prediksi resesi ekonomi masih belum cukup kuat menggerakkan pasar global dan pasar surat utang dalam negeri.
Sumber: Refinitiv
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tidak tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih menguat.
Indeks tersebut naik 0,38 poin (0,16%) menjadi 246,61 dari posisi kemarin 246,22. Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 524 bps, menyempit dari posisi kemarin 526 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 2,42% dari posisi kemarin 2,38%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-5 tahun, 2 tahun-5 tahun, dan 3 bulan-10 tahun.
Inversi pada tenor 2 bulan-10 tahun jarang sekali terjadi dan terakhir kalinya terjadi pada 2007 silam, yang semakin menunjukkan potensi resesi di Amerika Serikat.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Sumber: Refinitiv
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 961,63 triliun SBN, atau 38,75% dari total beredar Rp 2.481 triliun berdasarkan data per 27 Maret. Angka itu masih menjadi rekor tertinggi investasi investor asing di pasar SBN sepanjang masa.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 68,38 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di pasar Brasil, China, Filipina, dan Afsel sedangkan di negara maju hampir semuanya terkoreksi.
Kondisi tersebut mengindikasikan adanya aliran dana yang keluar dari pasar obligasi negara maju ke efek yang lebih berisiko seperti saham atau pasar obligasi negara berkembang.
Sumber: Refinitiv
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/dru) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Turunnya harga surat utang negara (SUN) itu seiring dengan koreksi yang terjadi di pasar surat utang pemerintah negara berkembang yang lain.
Data Refinitiv menunjukkan terkoreksinya harga SUN itu tercermin dari empat seri acuan (benchmark) yang sekaligus menaikkan tingkat imbal hasilnya (yield).
Yield juga lebih umum dijadikan acuan transaksi obligasi dibanding harga karena mencerminkan kupon, tenor, dan risiko dalam satu angka.
SUN adalah surat berharga negara (SBN) konvensional rupiah yang perdagangannya paling ramai di pasar domestik, sehingga dapat mencerminkan kondisi pasar obligasi secara umum.
Keempat seri yang menjadi acuan itu adalah FR0063 bertenor 5 tahun, FR0064 bertenor 10 tahun, FR0065 bertenor 15 tahun, dan FR0075 bertenor 30 tahun.
Seri acuan yang paling melemah adalah FR0068 yang bertenor 15 tahun dengan kenaikan yield 2,3 basis poin (bps) menjadi 8,12%. Besaran 100 bps setara dengan 1%. Tiga seri acuan lain juga kompak terkoreksi.
Head of Fixed Income PT Maybank Asset Management J. Richard Nadapdap menilai pasar obligasi sedang sepi transaksi karena relatif menunggu momentum pemilihan presiden.
"Betul, sedang menuggu pemilu," ujarnya sore ini.
Kondisi sepi sentimen masih terjadi karena dari luar negeri sentimen dari perang dagang dan Brexit serta prediksi resesi ekonomi masih belum cukup kuat menggerakkan pasar global dan pasar surat utang dalam negeri.
Yield Obligasi Negara Acuan 29 Mar 2019 | |||||
Seri | Jatuh tempo | Yield 28 Mar 2019 (%) | Yield 29 Mar 2019 (%) | Selisih (basis poin) | Yield wajar IBPA 29 Mar'19 |
FR0077 | 5 tahun | 7.142 | 7.161 | 1.90 | 7.0772 |
FR0078 | 10 tahun | 7.658 | 7.665 | 0.70 | 7.5878 |
FR0068 | 15 tahun | 8.098 | 8.121 | 2.30 | 8.0454 |
FR0079 | 20 tahun | 8.162 | 8.182 | 2.00 | 8.1179 |
Avg movement | 1.72 |
Koreksi pasar obligasi pemerintah hari ini tidak tercermin pada harga obligasi wajarnya, di mana indeks INDOBeX Government Total Return milik PT Penilai Harga Efek Indonesia (PHEI/IBPA) masih menguat.
Indeks tersebut naik 0,38 poin (0,16%) menjadi 246,61 dari posisi kemarin 246,22. Koreksi SBN hari ini juga membuat selisih (spread) obligasi rupiah pemerintah tenor 10 tahun dengan surat utang pemerintah AS (US Treasury) tenor serupa mencapai 524 bps, menyempit dari posisi kemarin 526 bps.
Yield US Treasury 10 tahun naik hingga 2,42% dari posisi kemarin 2,38%. Terkait dengan pasar US Treasury, saat ini masih terjadi inversi tenor 3 bulan-5 tahun, 2 tahun-5 tahun, dan 3 bulan-10 tahun.
Inversi pada tenor 2 bulan-10 tahun jarang sekali terjadi dan terakhir kalinya terjadi pada 2007 silam, yang semakin menunjukkan potensi resesi di Amerika Serikat.
Inversi adalah kondisi lebih tingginya yield seri lebih pendek dibanding yield seri lebih panjang.
Inversi tersebut membentuk kurva yield terbalik (inverted yield curve), yang menjadi cerminan investor yang lebih meminati US Treasury seri panjang dibanding yang pendek karena menilai akan terjadi kontraksi jangka pendek, sekaligus indikator adanya potensi tekanan ekonomi bahkan hingga krisis.
Yield US Treasury Acuan 29 Mar 2019 | |||||
Seri | Benchmark | Yield 28 Mar 2019 (%) | Yield 29 Mar 2019 (%) | Selisih (Inversi) | Satuan Inversi |
UST BILL 2019 | 3 Bulan | 2.437 | 2.432 | 3 bulan-5 tahun | 18.6 |
UST 2020 | 2 Tahun | 2.23 | 2.276 | 2 tahun-5 tahun | 3 |
UST 2021 | 3 Tahun | 2.175 | 2.221 | 3 tahun-5 tahun | -2.5 |
UST 2023 | 5 Tahun | 2.203 | 2.246 | 3 bulan-10 tahun | 0.6 |
UST 2028 | 10 Tahun | 2.389 | 2.426 | 2 tahun-10 tahun | -15 |
Terkait dengan porsi investor di pasar SBN, data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) terakhir menunjukkan investor asing menggenggam Rp 961,63 triliun SBN, atau 38,75% dari total beredar Rp 2.481 triliun berdasarkan data per 27 Maret. Angka itu masih menjadi rekor tertinggi investasi investor asing di pasar SBN sepanjang masa.
Angka kepemilikannya masih positif Rp 68,38 triliun dibanding posisi akhir Desember Rp 893,25 triliun, sehingga persentasenya masih naik dari 37,71% pada periode yang sama.
Dari pasar surat utang negara berkembang, penguatan terjadi di pasar Brasil, China, Filipina, dan Afsel sedangkan di negara maju hampir semuanya terkoreksi.
Kondisi tersebut mengindikasikan adanya aliran dana yang keluar dari pasar obligasi negara maju ke efek yang lebih berisiko seperti saham atau pasar obligasi negara berkembang.
Yield Obligasi Tenor 10 Tahun Negara Maju & Berkembang | |||
Negara | Yield 28 Mar 2019 (%) | Yield 29 Mar 2019 (%) | Selisih (basis poin) |
Brasil | 9.36 | 8.92 | -44.00 |
China | 3.089 | 3.075 | -1.40 |
Jerman | -0.07 | -0.05 | 2.00 |
Perancis | 0.313 | 0.336 | 2.30 |
Inggris | 1 | 1.028 | 2.80 |
India | 7.323 | 7.343 | 2.00 |
Jepang | -0.093 | -0.09 | 0.30 |
Malaysia | 3.763 | 3.773 | 1.00 |
Filipina | 5.682 | 5.622 | -6.00 |
Rusia | 8.31 | 8.31 | 0.00 |
Singapura | 2.049 | 2.078 | 2.90 |
Thailand | 2.45 | 2.49 | 4.00 |
Amerika Serikat | 2.389 | 2.423 | 3.40 |
Afrika Selatan | 8.725 | 8.645 | -8.00 |
TIM RISET CNBC INDONESIA
(irv/dru) Next Article SUN Cetak Rekor, Pengamat: SUN RI Masih Menarik Bagi Investor
Most Popular