Pagi Berganti Sore, Rupiah Konsisten Terlemah di Asia

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 March 2019 17:02
Pagi Berganti Sore, Rupiah Konsisten Terlemah di Asia
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Kinerja rupiah pada hari ini begitu konsisten. Sayang, konsisten dalam artian negatif. Dari pagi hingga sore hari, rupiah tak tergoyahkan dari posisinya sebagai mata uang dengan kinerja terburuk di kawasan regional.

Dibuka melemah 0,18% pada perdagangan di pasar spot ke level Rp 14.215/dolar AS, rupiah sempat melemah hingga 0,46% ke level Rp 14.255/dolar AS. Pada penutupan perdagangan, rupiah melemah 0,33% ke level Rp 14.237/dolar AS.

Pergerakan mata uang kawasan Asia pada hari ini bisa dibilang bervariasi. Tanpa memasukkan rupiah sebanyak 5 mata uang membukukan depresiasi melawan dolar AS, sementara 5 lainnya membukukan apresiasi.

Tarik-menarik antara sentimen positif dan negatif membuat mata uang negara-negara Benua Kuning kesulitan menentukan arah.

China terlihat begitu ngebet untuk mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Pada hari ini hingga besok (28-29 Maret), AS dan China menggelar negosiasi dagang di Beijing, mempertemukan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He. Negosiasi dagang kedua negara kemudian akan dilanjutkan pada awal bulan April di Washington.

Dalam negosiasi dagang teranyar dengan AS tersebut, pejabat pemerintahan AS mengatakan bahwa China menawarkan proposal yang lebih berani dibandingkan yang mereka tawarkan sebelumnya, termasuk proposal guna mengatasi masalah pemaksaan transfer teknologi, seperti dikutip dari Reuters.

“Mereka (China) berbicara mengenai pemaksaan transfer teknologi dalam koridor yang sebelumnya tak pernah ingin mereka bicarakan – baik dalam cakupan maupun detilnya,” papar pejabat tersebut kepada Reuters.

Pejabat tersebut juga mengungkapkan bahwa para negosiator telah membuat kemajuan terkait dengan penulisan kesepakatan dagang kedua negara.

“Jika Anda melihat (draf) kesepakatan tertulis sebulan yang lalu dibandingkan dengan saat ini, kami telah menciptakan kemajuan di semua bidang.”

Seperti yang diketahui, pemaksaan transfer teknologi memang merupakan salah satu penyebab meletusnya perang dagang kedua negara. Pemerintahan Presiden AS Donald Trump menganggap bahwa praktek pemaksaan transfer teknologi yang dialami oleh perusahaan-perusahaan AS yang berinvestasi di China telah sangat merugikan mereka dan perekonomian AS secara keseluruhan.

Wajar jika kini China begitu ngebet untuk mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Pasalnya, perekonomian China terlihat sudah begitu tersakiti lantaran produk ekspornya senilai US$ 250 miliar dikenakan bea masuk yang begitu tinggi oleh AS.

Perang dagang dengan AS bahkan telah memaksa pemerintah China memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun ini menjadi ke kisaran 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%.

Jika kesepakatan dagang benar bisa dicapai nantinya, tentu perekonomian AS dan China bisa dipacu untuk melaju lebih kencang.

Karena itu, pelaku pasar tak terpaku untuk memeluk dolar AS selaku safe haven pada perdagangan hari ini. Di pasar saham, investor asing sejatinya membukukan beli bersih senilai Rp 306,2 miiar yang seharusnya bisa mendorong penguatan rupiah.

Sayang, sentimen negatif berupa bayang-bayang resesi di AS membuat dolar AS selaku safe haven dipandang lebih seksi ketimbang rupiah.

Kini, pelaku pasar justru kian yakin bahwa AS akan masuk ke dalam jurang resesi. Hal tersebut dapat dilihat dari imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 3 bulan yang semakin meninggalkan tenor 10 tahun. Pada perdagangan hari ini, yield tenor 3 bulan berada di level 2,4403%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,3805%; ada selisih sebesar 5,98 bps.

Fenomena yang disebut sebagai inversi ini merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Berbicara mengenai inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018 silam.

Untuk inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun, hal ini pertama kali terjadi pada 22 Maret dengan nilai sebesar 0,7 bps.

Resesi di AS memang tak bisa dianggap sepele. Ekonomi Indonesia bisa mengalami perlambatan yang signifikan jika AS benar jatuh ke jurang resesi. Maklum saja, Indonesia banyak bergantung kepada AS sebagai pangsa pasar tujuan ekspor.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.

Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi di sana lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.

Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar -0,14% dan -2,54%.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari yang sebelumnya 6,35% pada tahun 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular