Keperkasaan Dolar Membuat Harga Emas Gemetar

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
28 March 2019 11:09
Harga emas global pada perdagangan Kamis (28/3/2019) pagi ini terus melemah namun cenderung terbatas akibat nilai dolar yang menguat
Foto: Karyawan rumah emas ProAurum menghiasi pohon natal dengan lapisan emas, pohon Natal paling mahal di Eropa, terbuat dari 2.018 koin emas philharmonic di Wina, senilai 2,3 juta euro di Munich, Jerman 3 Desember 2018. REUTERS / Michael Dalder
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas global pada perdagangan Kamis (28/3/2019) pagi ini terus melemah namun cenderung terbatas.

Hingga pukul 10:45 WIB, harga emas kontrak April di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) menguat terkoreksi 0,11% ke posisi US$ 1.309/troy ounce, setelah amblas 0,35% pada perdagangan Rabu kemarin (27/3/2019)

Adapun harga emas di pasar spot belum bergerak alias stagnan di posisi US$ 1.309,4/troy ounce, setelah melemah 0,45% kemarin.

Selama sepekan harga emas di bursa COMEX dan spot telah menguat masing-masing sebesar 0,05% dan 0,02% secara point-to-point. Sedangkan sejak awal tahun rata-rata kenaikan harga keduanya sebesar 2,08%.



Nilai tukar dolar yang semakin menguat menjadi dalang yang menekan harga emas global.

Hal ini tercermin dari nilai Dollar Index (DXY) yang naik 0,12% ke posisi 96,89 pada pukul 10:00 WIB. Seperti yang diketahui, nilai DXY merupakan gambaran posisi greenback relatif terhadap enam mata uang dunia.

Kala dolar makin mahal, maka harga emas juga akan lebih tinggi bagi pemegang mata uang asing. Alhasil,daya tarik emas agak berkurang.

Namun beberapa risiko perekonomian global masih berpotensi memberi dorongan ke atas pada pergerakan harga emas.

Ancaman resesi di Amerika Serikat (AS) masih dapat membuat investor memasang mode wait and see.

Tanda-tandanya adalah masih terjadi inversi yield obligasi U.S. Treasury yang bertenor 3 bulan dengan 10 tahun. Inversi terjadi kala yield obligasi tenor 3 bulan lebih tinggi dibanding yield obligasi tenor 10 tahun.

Memang, inversi tidak lantas memastikan terjadinya resesi. Namun secara historis dalam 50 tahun terakhir, resesi selalu diawali dengan terjadinya inversi yield pada obligasi tersebut.

Selain itu, AS juga kembali membukukan defisit transaksi berjalan (current account defisit/CAD) yang paling dalam sejak 2008.

Hal ini semakin membuat investor berpotensi mencari safe haven untuk mengamankan nilai aset.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/taa) Next Article Emas, How High Can You Fly

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular