
Hantu Resesi & Ekonomi Bobrok, Bikin Bursa Asia Kompak Mundur
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
28 March 2019 09:35

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa saham utama kawasan Asia kompak berlari ke Zona Merah pada pembukaan perdagangan hari ini: indeks Nikkei turun 0,88%, indeks Kospi turun 0,67%, indeks Shanghai turun 0,43%, indeks Hang Seng turun 0,23%, dan indeks Straits Times melemah 0,05%.
Hari ini saham acuan Benua Kuning menunjukkan muka kelabu karena tidak hanya resesi ekonomi AS yang belum pudar, tapi data fundamental ekonomi juga tidak menjanjikan.
Pasar obligasi pemerintah AS nampaknya belum menunjukkan pergerakan yang menggembirakan, bahkan cenderung memburuk.
Kemarin (27/3/2019), pemerintahan Donald Trump melelang dua seri obligasi yaitu tenor 2 tahun dan tenor 5 tahun. Untuk tenor 2 tahun, penawaran yang masuk mencapai US$ 68 miliar dan yang dimenangkan adalah US$ 18 miliar. Sementara untuk tenor 5 tahun, penawaran yang masuk mencapai US$ 96,29 miliar dan pemerintah memenangkan US$ 41 miliar.
Tingginya aliran modal ke pasar obligasi tentu membuat imbal hasil (yield) bergerak turun karena harga sedang naik.
Namun yang mengkhawatirkan adalah pergerakan inversi masih saja terlihat antara obligasi pemerintah tenor 3 bulan dengan tenor 10 tahun, bahkan jarak keduanya semakin jauh. Imbal hasil tenor 3 bulan berada di 2,4405 poin, sedangkan tenor 10 tahun mencatatkan imbal hasil 2.3472 poin.
Sebagai informasi inversi pada pasar obligasi terjadi ketika imbal hasil obligasi tenor jangka pendek lebih tinggi dibanding tenor jangka panjang, yang dapat diartikan investor meminta jaminan tinggi karena ancaman resiko jangka pendek lebih besar. Jika terjadi inversi pada pasar obligasi, maka resesi kemungkinan akan terjadi dalam kurun waktu 18 bulan mendatang.
Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih berturut-turut.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang buruk dari Benua Kuning, membuat pelaku pasar semakin menjauh dari bursa saham kawasan Asia.
Laba industri China pada dua bulan pertama tahun ini anjlok 14% YoY, dan ini merupakan penurunan terdalam sejak 2011, dilansir Trading Economics.
Laba yang diperoleh oleh perusahaan milik negara turun 24,2% YoY, sedangkan laba perusahaan swasta turun 5,8% YoY. Industri yang mengalami penurunan laba terbesar adalah otomotif, pengolahan minyak, baja, dan industri kimia.
Hong Kong juga membukukan defisit neraca perdagangan dua bulan berturut-turut bahkan rentangnya jadi lebih besar.
Neraca perdagangan Negeri Kelahiran Andy Lau pada Februari mencapai defisit H$ 48,8 miliar dari bulan sebelumnya yang hanya minus H$ 10,3 miliar. Anjloknya neraca perdagangan Hong Kong dikarenakan nilai ekspor dan impor yang turun masing-masing 6,9% YoY dan 3,8% YoY.
Terlebih lagi, ekonomi Singapura juga kurang memuaskan karena indeks produksi industri Singapura bulan Februari turun 4,1% jika dibandingkan bulan Januari. Hasil tersebut dapat mengimplikasikan bahwa permintaan akan produk-produk industri juga turun, dan ini menandakan perlambatan perekonomian di Negeri Singa.
Investor awalnya masih dapat bergerak meskipun terbatas karena inversi imbal hasil yang terjadi di pasar obligasi belum tentu berujung ke resesi jika perekonomian global tumbuh stabil.
Namun, dengan rilis data ekonomi yang terus memperlihatkan hasil yang loyo, sudah dapat dipastikan bahwa kemungkinan resesi terjadi semakin tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Hari ini saham acuan Benua Kuning menunjukkan muka kelabu karena tidak hanya resesi ekonomi AS yang belum pudar, tapi data fundamental ekonomi juga tidak menjanjikan.
Pasar obligasi pemerintah AS nampaknya belum menunjukkan pergerakan yang menggembirakan, bahkan cenderung memburuk.
Tingginya aliran modal ke pasar obligasi tentu membuat imbal hasil (yield) bergerak turun karena harga sedang naik.
Namun yang mengkhawatirkan adalah pergerakan inversi masih saja terlihat antara obligasi pemerintah tenor 3 bulan dengan tenor 10 tahun, bahkan jarak keduanya semakin jauh. Imbal hasil tenor 3 bulan berada di 2,4405 poin, sedangkan tenor 10 tahun mencatatkan imbal hasil 2.3472 poin.
Sebagai informasi inversi pada pasar obligasi terjadi ketika imbal hasil obligasi tenor jangka pendek lebih tinggi dibanding tenor jangka panjang, yang dapat diartikan investor meminta jaminan tinggi karena ancaman resiko jangka pendek lebih besar. Jika terjadi inversi pada pasar obligasi, maka resesi kemungkinan akan terjadi dalam kurun waktu 18 bulan mendatang.
Resesi adalah penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal atau lebih berturut-turut.
Lebih lanjut, rilis data ekonomi yang buruk dari Benua Kuning, membuat pelaku pasar semakin menjauh dari bursa saham kawasan Asia.
Laba industri China pada dua bulan pertama tahun ini anjlok 14% YoY, dan ini merupakan penurunan terdalam sejak 2011, dilansir Trading Economics.
Laba yang diperoleh oleh perusahaan milik negara turun 24,2% YoY, sedangkan laba perusahaan swasta turun 5,8% YoY. Industri yang mengalami penurunan laba terbesar adalah otomotif, pengolahan minyak, baja, dan industri kimia.
Hong Kong juga membukukan defisit neraca perdagangan dua bulan berturut-turut bahkan rentangnya jadi lebih besar.
Neraca perdagangan Negeri Kelahiran Andy Lau pada Februari mencapai defisit H$ 48,8 miliar dari bulan sebelumnya yang hanya minus H$ 10,3 miliar. Anjloknya neraca perdagangan Hong Kong dikarenakan nilai ekspor dan impor yang turun masing-masing 6,9% YoY dan 3,8% YoY.
Terlebih lagi, ekonomi Singapura juga kurang memuaskan karena indeks produksi industri Singapura bulan Februari turun 4,1% jika dibandingkan bulan Januari. Hasil tersebut dapat mengimplikasikan bahwa permintaan akan produk-produk industri juga turun, dan ini menandakan perlambatan perekonomian di Negeri Singa.
Investor awalnya masih dapat bergerak meskipun terbatas karena inversi imbal hasil yang terjadi di pasar obligasi belum tentu berujung ke resesi jika perekonomian global tumbuh stabil.
Namun, dengan rilis data ekonomi yang terus memperlihatkan hasil yang loyo, sudah dapat dipastikan bahwa kemungkinan resesi terjadi semakin tinggi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Kabar Baik China vs Buruk Dari Amerika, Bursa Asia Bervariasi
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular