
BI Sebut Tak Ada Salahnya Ngutang dalam Perekonomian
Iswari Anggit Pramesti, CNBC Indonesia
27 March 2019 14:20

Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) menegaskan berutang bukanlah sebuah hal yang salah. Apalagi jika dana dalam negeri tidak cukup untuk membiayai seluruh kebutuhan.
"Jadi tidak salah kita pinjam dari luar negeri, karena dari dalam negeri tidak cukup. Perbankan hanya 33% dari PDB dan itu sudah komponen besar dari dana funding kita. Size asuransi hanya Rp 900 sampai Rp 1.000 triliun, size perbankan Rp 5.500 triliun."
"Dengan demikian kalau digabung hanya sekitar 33% dari PDB Indonesia," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara sewaktu memberikan paparan dalam Seminar Nasional: Sinergi untuk Ketahanan dan Pertumbuhan, Rabu (27/3/2019).
Sebagai informasi, utang pemerintah pusat pada akhir Februari 2019 tercatat sebesar Rp 4.566,26 triliun. Angka ini naik Rp 531,46 triliun jika dibandingkan pada Februari 2018.
Lebih jauh lagi Mirza menjelaskan, saat ini Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD), sehingga utang sangat diperlukan. Pasalnya, pada tahun 2018 CAD Indonesia mencapai US$ 31,1 miliar atau setara dengan 2,98% dari PDB.
"Kita defisit pada tahun 2016 itu US$ 17 miliar, tahun 2017 US$ 16 miliar, dan tahun 2018 US$ 31 miliar. Itu karena di tahun 2018 harga komoditas menurun, kemudian terjadi pelemahan ekonomi dunia, dan karena kita membangun infrastruktur untuk Indonesia ke depan. Nah ini mengakibatkan dampak pada impor capital goods. Secara kasar, kami hitung impor terkait infrastruktur sekitar US$ 6 miliar."
Menurut Mirza Indonesia bukan satu-satunya negara yang dana dalam negerinya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan. Masih ada negara lain yang juga mengalami hal serupa, misalnya saja Thailand. Namun, karena ekspor dan pariwisatanya baik, maka negara gajah putih tersebut berhasil menstabilkan current account-nya.
"Apakah hanya Indonesia yang punya primary income deficit? Ada Thailand, tapi services besar, ekspor sedemikian besar, jadi total current account positif."
Oleh karena itu, menurut Mirza penting bagi pemerintah saat ini fokus bagaimana memperbaiki CAD dengan mendorong ekspor dan diversifikasi ekspor, mendorong sektor pariwisata, serta mengurangi impor, terutama migas. Dengan demikian, current account diharapkan bisa kembali seimbang, sehingga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi bisa terjaga.
"Jadi bagaimana caranya supaya bisa surplus? Pertama ekspor, kedua diversifikasi ekspor, impor energi kita switch ke energi yang komponen fosilnya itu bisa jadi lebih kecil, mobil elektrik misalnya, kemudian kebijakan pajaknya lebih pro ke yang sifatnya renewable," tandasnya.
(dru) Next Article Dolar Rp16.200 BI Rate Naik Jadi 6,25%, Ini Alasannya!
"Jadi tidak salah kita pinjam dari luar negeri, karena dari dalam negeri tidak cukup. Perbankan hanya 33% dari PDB dan itu sudah komponen besar dari dana funding kita. Size asuransi hanya Rp 900 sampai Rp 1.000 triliun, size perbankan Rp 5.500 triliun."
"Dengan demikian kalau digabung hanya sekitar 33% dari PDB Indonesia," ujar Deputi Gubernur Senior BI, Mirza Adityaswara sewaktu memberikan paparan dalam Seminar Nasional: Sinergi untuk Ketahanan dan Pertumbuhan, Rabu (27/3/2019).
Lebih jauh lagi Mirza menjelaskan, saat ini Indonesia mengalami defisit transaksi berjalan atau current account defisit (CAD), sehingga utang sangat diperlukan. Pasalnya, pada tahun 2018 CAD Indonesia mencapai US$ 31,1 miliar atau setara dengan 2,98% dari PDB.
"Kita defisit pada tahun 2016 itu US$ 17 miliar, tahun 2017 US$ 16 miliar, dan tahun 2018 US$ 31 miliar. Itu karena di tahun 2018 harga komoditas menurun, kemudian terjadi pelemahan ekonomi dunia, dan karena kita membangun infrastruktur untuk Indonesia ke depan. Nah ini mengakibatkan dampak pada impor capital goods. Secara kasar, kami hitung impor terkait infrastruktur sekitar US$ 6 miliar."
Menurut Mirza Indonesia bukan satu-satunya negara yang dana dalam negerinya tidak cukup untuk membiayai kebutuhan. Masih ada negara lain yang juga mengalami hal serupa, misalnya saja Thailand. Namun, karena ekspor dan pariwisatanya baik, maka negara gajah putih tersebut berhasil menstabilkan current account-nya.
"Apakah hanya Indonesia yang punya primary income deficit? Ada Thailand, tapi services besar, ekspor sedemikian besar, jadi total current account positif."
Oleh karena itu, menurut Mirza penting bagi pemerintah saat ini fokus bagaimana memperbaiki CAD dengan mendorong ekspor dan diversifikasi ekspor, mendorong sektor pariwisata, serta mengurangi impor, terutama migas. Dengan demikian, current account diharapkan bisa kembali seimbang, sehingga kestabilan dan pertumbuhan ekonomi bisa terjaga.
"Jadi bagaimana caranya supaya bisa surplus? Pertama ekspor, kedua diversifikasi ekspor, impor energi kita switch ke energi yang komponen fosilnya itu bisa jadi lebih kecil, mobil elektrik misalnya, kemudian kebijakan pajaknya lebih pro ke yang sifatnya renewable," tandasnya.
(dru) Next Article Dolar Rp16.200 BI Rate Naik Jadi 6,25%, Ini Alasannya!
Most Popular