'Memperingati' 1 Dekade Resesi AS, Apa yang Terjadi Saat Itu?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
27 March 2019 13:43
'Memperingati' 1 Dekade Resesi AS, Apa yang Terjadi Saat Itu?
Ilustrasi Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Satu dekade lalu, 2009, Amerika Serikat (AS) sedang menjalani ujian berat. Krisis keuangan akibat meletusnya 'gelembung' sekuritisasi kredit perumahan (sub-prime mortgage) berdampak sistemik dan menjalar ke berbagai sendi perekonomian Negeri Paman Sam. 

Kini 10 tahun berlalu, dan AS sudah bisa dibilang pulih dari krisis terberat setelah Depresi Besar pada 1930-an. Namun bukan berarti resesi tidak akan datang lagi. 

Ancaman kembalinya resesi di AS jadi perbincangan di pasar sejak akhir pekan lalu. Kekhawatiran ini berasal dari pasar obligasi pemerintah, sesuatu yang sebenarnya masih terjadi sampai saat ini. 

Pada Rabu (27/3/2019) pukul 11:28 WIB, imbal hasil (yield) obligasi tenor 3 bulan ada di 2,4586% sementara 10 tahun adalah 2,4159%. Terjadi inversi, yield jangka pendek lebih tinggi dibandingkan jangka panjang. 

Angka-angka tersebut berarti investor meminta jaminan yang lebih tinggi untuk obligasi jangka pendek, ada pandangan bahwa risiko dalam waktu dekat akan lebih besar dibandingkan ke depan. Oleh karena itu, inversi di yield tenor 3 tahun dan 10 tahun sering digunakan sebagai alat untuk memprediksi resesi yang kemungkinan bisa terjadi setidaknya dalam 18 bulan ke depan. 


Resesi adalah sebuah mimpi buruk bagi AS. Tidak cuma hanya buat AS, dampaknya menyebar ke seluruh dunia dan menjadi krisis keuangan global. Indonesia pun ikut merasakan getahnya. Oleh karena itu, mari berdoa agar AS jangan sampai resesi... 


Mungkin kita perlu memutar mesin waktu, melihat bagaimana kondisi AS saat resesi 10 tahun lalu. Supaya kita sadar bahwa periode tersebut kalau bisa jangan sampai terulang lagi. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Resesi AS dimulai sebagai fenomena di sektor keuangan. Jadi mari kita kenang bagaimana sektor keuangan AS kala itu. 

Pasar keuangan AS saat itu kacau-balau. Di Wall Street, indeks S&P 500 anjlok 38,48% dan Dow Jones Industrial Average (DJIA) amblas 33,84%. 

 

Sektor keuangan yang jatuh ke titik nadir membuat likuiditas mengetat. Kala itu, istilah liquidity crunch atau liquidity squeeze begitu menggema menggambarkan sulitnya mengakses pembiayaan. 

Pada 2009, krisis di sektor keuangan gagal dilokalisasi dan luber ke sektor riil. Dunia usaha dan rumah tangga kesulitan mengakses modal sehingga ekspansi mereka terkendala. 

Seretnya ekspansi dunia usaha dan rumah tangga inilah yang menjadi sumber utama resesi, karena konsumsi, investasi, dan ekspor tidak bisa tumbuh. Kontraksi tidak terhindarkan, dan itu terjadi selama 3 kuartal berturut-turut. Kala sektor keuangan sudah mulai pulih pada pertengahan 2009, sektor riil yang ketinggalan kereta masih teraniaya. 

 

Lesunya permintaan domestik di AS tergambar dari laju inflasi. AS sempat mengalami deflasi 2,1% year-on-year (YoY) pada Juli 2009. 

 

Harga properti di AS pun anjlok karena praktis tidak ada permintaan. Pada Januari 2009, harga rumah anjlok 19% YoY, dan baru bisa tumbuh positif pada 2010. 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 3)


Otoritas di Negeri Adidaya tidak tinggal diam. The Federal Reserve/The Fed kala itu menerapkan kebijakan moneter longgar dengan memangkas suku bunga acuan hingga mendekati 0%. Bank Sentral juga menerapkan program quantitative easing atau membeli surat-surat berharga untuk menggelontorkan likuiditas ke pasar. 

Akibat pemangkasan suku bunga dan gelontoran likuiditas, terciptalah apa yang disebut dengan uang mudah (easy money). Arus modal mengalir deras ke pasar, sampai membuat yield obligasi pemerintah AS turun drastis karena kebanjiran permintaan. Sepanjang 2018, yield surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun anjlok 181,57 basis poin (bps).



Kebijakan The Fed saat resesi 10 tahun lalu masih berdampak sampai sekarang. Misalnya, gara-gara quantitative easing neraca The Fed membengkak sampai lebih dari US$ 4 triliun.  

Sejak akhir 2017, The Fed memutuskan untuk 'merampingkan' neraca itu dengan menjual surat berharga miliknya dan menyerap likuiditas dari pasar. Normalisasi neraca itu masih berlangsung sampai sekarang, baru akan diakhiri pada September mendatang. 


Kira-kira begitulah gambaran AS kala mengalami resesi sedekade lalu. Sesuatu yang kalau bisa jangan sampai terulang lagi karena dampaknya masih terasa sampai sekarang.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Gawat! Tanda-tanda Resesi AS Kian Terlihat

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular