
Kebijakan DMO, Bikin Laba Indo Tambangraya Tak Maksimal
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
26 March 2019 11:17

Jakarta, CNBC Indonesia - Kemarin emiten tambang batu bara PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) mengumumkan akan membagikan dividen senilai Rp 2.045/saham, yang rencana akan dilakukan pada 23 April 2019.
Lalu, sebenarnya seberapa baik kinerja ITMG yang berani membagi seluruh laba menjadi dividen?
Pada tahun 2018, perusahaan menorehkan kinerja yang relatif baik dengan mencatatkan peningkatan pendapatan 18,83% year-on-year (YoY) menjadi US$ 2,01 miliar atau setara Rp 28,61 triliun (US$ 1 = Rp 14.250). Dimana capaian realisasi penjualan batu bara tahun 2018 menjadi 23,5 juta ton dari sebelumnya 23,1 juta ton di tahun 2017.
Lebih lanjut, pencapaian pendapatan tersebut disokong karena harga baru bara dunia pada tahun 2018 tumbuh 11,37% YoY menjadi US$ 81.3/ton dari sebelumnya US$ 73/ton di tahun 2017. Peningkatan harga batu bara dunia tentu menguntungkan bagi ITMG karena 88,01% penjualan perusahaan adalah ekspor.
Pertumbuhan pendapatan juga didukung keputusan perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan tambang baru bara PT Nusa Persada Resources (NPR) yang memiliki konsesi pertambangan di Kalimantan Timur. Aksi akuisisi ini membuat total cadangan batu bara ITMG meningkat 77,4 juta ton menjadi 315,5 juta ton.
Sayangnya, dampak dari aksi akuisisi terhadap pencapaian top line (pendapatan) tidak cukup signifikan. Demikian pula terhadap bottom line (laba bersih) ITMG hanya tumbuh 3,7% YoY menjadi US$ 261,95 juta atau setara Rp 3,73 triliun. Net margin perusahaan juga terkoreksi tipis di kisaran 13,05% padahal tahun 2017 capaian net margin menyentuh 14,95%.
Berdasarkan rilis data keuangan perusahaan, pertumbuhan laba yang relatif stagnan sepertinya merupakan dampak dari penerapan kebijakan pemenuhan kewajiban alokasi dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Pemenuhan DMO dicatatkan oleh perusahaan sebagai pos biaya tambahan di beban penjualan dengan nilai sebesar US$ 23,39 juta.
Sebagai informasi, DMO merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan produsen batubara untuk memasok 25% dari total produksi nasional untuk kebutuhan dalam negeri. Harga jual yang dipatok pemerintah adalah US$ 70/ton untuk batu bara dengan kalori 6.322 GAR.
Selain itu, ITMG juga mencatatkan kerugian yang lebih besar atas transaksi swap batu bara dan selisih nilai tukar.
Tahun lalu, kerugian atas transaksi swap batu baru mencapai US$ 39,56 dari yang sebelumnya surplus US$ 0,43 juta. Sedangkan rugi selisih kurs juga naik menjadi US 9,7 juta dari yang sebelumnya hanya US$ 0,35 juta.
Kinerja emiten ITMG sejatinya cukup memuaskan, akan tetapi jika tahun ini perusahaan tidak mampu menekan biaya tambahan yang muncul akibat penerapan DMO, tidak menutup kemungkinan pertumbuhan laba bersih 2019 dapat semakin landai.
Pasalnya, tahun lalu perusahaan hanya menyalurkan sekitar 13% dari total produksi tahun 2018. Jika pemerintah meminta perusahaan untuk memasok lebih besar, tentunya beban yang timbul juga akan lebih tinggi.
Belum lagi, harga batu bara tahun dunia indeks Newcastle tahun 2019 melemah dibanding tahun 2018. Harga indeks Newcastle kontrak Maret pada penutupan perdagangan kemarin (25/3/2019) ada di US$ 93/ton, sedangkan di tahun 2018 nilai tengahnya adalah US$ 107/tom. Tentunya ini akan menjadi resiko tambahan bagi perusahaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Laba Anjlok 50%, Saham ITMG Runtuh 2,97%
Lalu, sebenarnya seberapa baik kinerja ITMG yang berani membagi seluruh laba menjadi dividen?
Pada tahun 2018, perusahaan menorehkan kinerja yang relatif baik dengan mencatatkan peningkatan pendapatan 18,83% year-on-year (YoY) menjadi US$ 2,01 miliar atau setara Rp 28,61 triliun (US$ 1 = Rp 14.250). Dimana capaian realisasi penjualan batu bara tahun 2018 menjadi 23,5 juta ton dari sebelumnya 23,1 juta ton di tahun 2017.
Lebih lanjut, pencapaian pendapatan tersebut disokong karena harga baru bara dunia pada tahun 2018 tumbuh 11,37% YoY menjadi US$ 81.3/ton dari sebelumnya US$ 73/ton di tahun 2017. Peningkatan harga batu bara dunia tentu menguntungkan bagi ITMG karena 88,01% penjualan perusahaan adalah ekspor.
Pertumbuhan pendapatan juga didukung keputusan perusahaan untuk mengakuisisi perusahaan tambang baru bara PT Nusa Persada Resources (NPR) yang memiliki konsesi pertambangan di Kalimantan Timur. Aksi akuisisi ini membuat total cadangan batu bara ITMG meningkat 77,4 juta ton menjadi 315,5 juta ton.
Sayangnya, dampak dari aksi akuisisi terhadap pencapaian top line (pendapatan) tidak cukup signifikan. Demikian pula terhadap bottom line (laba bersih) ITMG hanya tumbuh 3,7% YoY menjadi US$ 261,95 juta atau setara Rp 3,73 triliun. Net margin perusahaan juga terkoreksi tipis di kisaran 13,05% padahal tahun 2017 capaian net margin menyentuh 14,95%.
Berdasarkan rilis data keuangan perusahaan, pertumbuhan laba yang relatif stagnan sepertinya merupakan dampak dari penerapan kebijakan pemenuhan kewajiban alokasi dalam negeri (Domestic Market Obligation/DMO). Pemenuhan DMO dicatatkan oleh perusahaan sebagai pos biaya tambahan di beban penjualan dengan nilai sebesar US$ 23,39 juta.
Sebagai informasi, DMO merupakan kebijakan pemerintah yang mewajibkan produsen batubara untuk memasok 25% dari total produksi nasional untuk kebutuhan dalam negeri. Harga jual yang dipatok pemerintah adalah US$ 70/ton untuk batu bara dengan kalori 6.322 GAR.
Selain itu, ITMG juga mencatatkan kerugian yang lebih besar atas transaksi swap batu bara dan selisih nilai tukar.
Tahun lalu, kerugian atas transaksi swap batu baru mencapai US$ 39,56 dari yang sebelumnya surplus US$ 0,43 juta. Sedangkan rugi selisih kurs juga naik menjadi US 9,7 juta dari yang sebelumnya hanya US$ 0,35 juta.
Kinerja emiten ITMG sejatinya cukup memuaskan, akan tetapi jika tahun ini perusahaan tidak mampu menekan biaya tambahan yang muncul akibat penerapan DMO, tidak menutup kemungkinan pertumbuhan laba bersih 2019 dapat semakin landai.
Pasalnya, tahun lalu perusahaan hanya menyalurkan sekitar 13% dari total produksi tahun 2018. Jika pemerintah meminta perusahaan untuk memasok lebih besar, tentunya beban yang timbul juga akan lebih tinggi.
Belum lagi, harga batu bara tahun dunia indeks Newcastle tahun 2019 melemah dibanding tahun 2018. Harga indeks Newcastle kontrak Maret pada penutupan perdagangan kemarin (25/3/2019) ada di US$ 93/ton, sedangkan di tahun 2018 nilai tengahnya adalah US$ 107/tom. Tentunya ini akan menjadi resiko tambahan bagi perusahaan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Laba Anjlok 50%, Saham ITMG Runtuh 2,97%
Most Popular