Selepas Diterpa Sell-Off, IHSG Dibuka Menguat 0,46%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
26 March 2019 09:31
Selepas Diterpa Sell-Off, IHSG Dibuka Menguat 0,46%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Selepas diterpa sell-off pada perdagangan kemarin (25/3/2019) hingga anjlok 1,75%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka menguat 0,46% pada perdagangan hari ini ke level 6.440,92. Pada pukul 9:20 WIB, IHSG telah memperlebar penguatannya menjadi 1,02% ke level 6.476,43.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona hijau: indeks Nikkei naik 1,68%, indeks Hang Seng naik 0,35%, indeks Straits Times naik 0,7%, dan indeks Kospi naik 0,17%.

Selain di pasar saham dalam negeri, koreksi dalam yang dialami bursa saham regional kemarin membuka ruang bagi pelaku pasar untuk melakukan aksi beli. Kemarin, indeks Nikkei ditutup anjlok 3,01%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times terkoreksi 0,91%, dan indeks Kospi terpangkas 1,92%.

Sejatinya, sentimen negatif masih menghantui perdagangan hari ini, utamanya dari potensi terjadinya resesi di AS. Pada hari Jumat kemarin (22/3/2019), terjadi inversi pada obligasi AS tenor 3 bulan dan 10 tahun.

Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.

Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.

Inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun merupakan konfirmasi dari potensi datangnya resesi di AS. Pasalnya dalam 3 resesi terkahir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun yang sebelumnya didahului inversi pada tenor 3 dan 5 tahun.

Berbicara mengenai inversi pada tenor 3 dan 5 tahun, hal ini sudah terjadi pada 3 Desember 2018 silam.

Pada penutupan perdagagan kemarin, inversi yang terjadi semakin parah. Jika pada hari Jumat yield obligasi AS tenor 3 bulan lebih tinggi sebesar 0,7 bps dari yield obligasi AS tenor 10 tahun, pada penutupan perdagangan kemarin nilainya sudah mencapai 3,6 bps.
Kekhawatiran terkait datangnya resesi di AS jelas terlihat dari aktivitas investor asing. Hingga berita ini diturunkan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 10,3 miliar di pasar reguler.

Sebagai negara dengan nilai perekonomian di dunia, tentu resesi di AS akan secara signifikan menghantam perekonomian negara-negara lain, termasuk Indonesia.

Resesi di AS terakhir kali terjadi pada tahun 2007 hingga 2009. Pada tahun 2007, ekonomi AS hanya tumbuh sebesar 1,88%, jauh melambat dari tahun sebelumnya yang mencapai 2,85%. Pada tahun 2008 dan 2009, perekonomian AS terkontraksi masing-masing sebesar 0,14% dan 2,54%.

Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia melandai ke level 6,01% pada tahun 2008, dari yang sebelumnya 6,35% pada tahun 2007, sebelum kemudian melandai lagi ke level 4,63% pada tahun 2009.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, ekspor non-migas Indonesia ke AS sepanjang 2018 mencapai US$ 17,67 miliar. AS menduduki peringkat kedua sebagai pangsa pasar ekspor non-migas terbesar setelah China.

Saat AS mengalami resesi, maka permintaan atas produk-produk buatan Indonesia akan berkurang karena memang aktivitas ekonomi di sana lesu. Penurunan ekspor ke AS akan mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan yang pada akhirnya menekan laju pertumbuhan ekonomi.

Jika nilai jual bersih investor asing bertambah besar, bukan tak mungkin IHSG kembali berakhir di zona merah atau setidaknya menipiskan penguatan yang sejauh ini sudah diraih.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular