
Resesi, Resesi, dan Resesi Bikin IHSG Terkapar 1,75%
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
25 March 2019 17:00

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) anjlok hingga 1,75% pada perdagangan pertama di pekan ini ke level 6.411,25. IHSG bahkan sempat meninggalkan level psikologis 6.400. Titik terendah IHSG pada hari ini berada di level 6.391,52.
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga dilanda aksi jual: indeks Nikkei turun 3,01%, indeks Shanghai turun 1,97%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times turun 1,06%, dan indeks Kospi turun 1,92%.
Kekhawatiran mengenai datangnya resesi di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia memantik aksi jual atas instrumen berisiko seperti saham.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Sinyal datangnya resesi di Negeri Paman datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Sebelumya pada tanggal 3 Desember 2018, sinyal awal datangnya resesi muncul yakni inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 3 Desember 2018, yield obligasi AS tenor 3 tahun berada di level 2,844%, sementara untuk tenor 5 tahun berada di level 2,839%.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama pada tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi terjadi.
Namun, konfirmasi datang atau tidaknya resesi baru akan datang jika terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pasalnya, inversi pada tenor 3 dan 5 tahun selalu diikuti oleh inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terlebih dahulu sebelum resesi benar-benar terjadi.
Menurut kajian dari Bespoke, secara rata-rata inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terjadi 89 hari pasca inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Jika dilihat rentang waktunya, tenor 3 bulan dan 10 tahun mengalami inversi dalam 19-173 hari.
Nah, pada hari Jumat kemarin (22/3/2019), tenor 3 bulan dan 10 tahun pada akhirnya mengalami inversi. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.
Jika dihitung, terdapat waktu selama 109 hari dari awal terjadinya inversi pada tenor 3 dan 5 tahun (3/12/2018) hingga inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun terjadi (22/3/2019) atau masih sejalan dalam rentang waktu dalam 3 resesi terakhir.
Melansir Bloomberg, jika sudah terdapat inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun, resesi bisa datang dalam waktu sekitar 18 bulan.
Jika berkaca pada sejarah, AS hampir pasti mengalami resesi. Sektor barang konsumsi yang anjlok 2,77% menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi koreksi IHSG. Sejauh ini, indikator-indikator yang ada memang menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia berada dalam posisi yang kuat.
Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan Februari terjadi deflasi sebesar 0,08% MoM, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni deflasi sebesar 0,05% MoM. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan diumumkan di level 2,57%.
Sejatinya, deflasi bisa diinterpretasikan sebagai bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Namun, deflasi pada bulan Februari praktis hanya disumbang oleh kelompok bahan makanan yang turun hingga 1,11% MoM. Sementara itu, enam komponen pembentuk inflasi lainnya membukukan kenaikan harga.
Lantas, secara keseluruhan investor melihat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih kuat. Penurunan tingkat harga pada kelompok bahan makanan lebih disebabkan oleh berlimpahnya pasokan atau distribusi yang baik.
Lebih lanjut, pesatnya penjualan barang-barang ritel juga meyakinkan investor bahwa daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia masih kuat.
Pada tanggal 11 Maret selepas perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Namun begitu, melambatnya aktivitas ekonomi Indonesia sebagai dampak dari resesi di AS akan membuat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan berada dalam tekanan.
Hal tersebut pada akhirnya berpotensi menekan pendapatan emiten-emiten barang konsumsi.
Jangan lupakan juga bahwa sejak menyentuh titik terendah dalam 1 tahun pada 12 November 2018 hingga penutupan perdagangan hari Jumat, indeks sektor barang konsumsi telah melesat sebesar 18,1%.
Alhasil, ruang bagi investor untuk melepas saham-saham barang konsumsi dan merealisasikan keuntungan yang sudah didapatkan menjadi begitu besar. Selepas melakukan beli bersih senilai Rp 1,34 triliun di pasar saham tanah air sepanjang pekan lalu, pada perdagangan hari ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 81,9 miliar.
Sinyal datangnya resesi di AS yang kian kuat membuat investor asing memasang mode defensif.
Lebih lanjut, pelemahan rupiah juga memantik aksi jual investor asing. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.175/dolar AS. Investor memilih melepas rupiah dan beralih memeluk dolar AS selaku safe haven di tengah ketidakpastian besar yang dihadapi saat ini.
5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Astra International Tbk/ASII (Rp 187,2 miliar), PT Intiland Development Tbk/DILD (Rp 65,2 miliar), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (Rp 48,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 46,8 miliar), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 40,5 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Hantu 'Resesi' Muncul Lagi, Hati-hati IHSG Lanjut Merosot!
Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga dilanda aksi jual: indeks Nikkei turun 3,01%, indeks Shanghai turun 1,97%, indeks Hang Seng turun 2,03%, indeks Straits Times turun 1,06%, dan indeks Kospi turun 1,92%.
Kekhawatiran mengenai datangnya resesi di AS yang merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia memantik aksi jual atas instrumen berisiko seperti saham.
Sinyal datangnya resesi di Negeri Paman datang dari pergerakan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS yang menunjukkan adanya inversi. Inversi merupakan sebuah fenomena di mana yield obligasi tenor pendek lebih tinggi dibandingkan tenor panjang. Padahal dalam kondisi normal, yield tenor panjang akan lebih tinggi karena memegang obligasi tenor panjang pastilah lebih berisiko ketimbang tenor pendek.
Lantas, terjadinya inversi mencerminkan bahwa pelaku pasar melihat risiko yang tinggi dalam jangka pendek yang membuat mereka meminta yield yang tinggi sebagai kompensasi.
Sebelumya pada tanggal 3 Desember 2018, sinyal awal datangnya resesi muncul yakni inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 3 Desember 2018, yield obligasi AS tenor 3 tahun berada di level 2,844%, sementara untuk tenor 5 tahun berada di level 2,839%.
Dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), selalu terjadi inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir, inversi pertama pada tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi terjadi.
Namun, konfirmasi datang atau tidaknya resesi baru akan datang jika terjadi inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun. Pasalnya, inversi pada tenor 3 dan 5 tahun selalu diikuti oleh inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terlebih dahulu sebelum resesi benar-benar terjadi.
Menurut kajian dari Bespoke, secara rata-rata inversi pada tenor 3 bulan dan 10 tahun terjadi 89 hari pasca inversi pada tenor 3 dan 5 tahun. Jika dilihat rentang waktunya, tenor 3 bulan dan 10 tahun mengalami inversi dalam 19-173 hari.
Nah, pada hari Jumat kemarin (22/3/2019), tenor 3 bulan dan 10 tahun pada akhirnya mengalami inversi. Melansir data dari Refinitiv, pada penutupan perdagangan tanggal 22 Maret 2019, yield obligasi AS tenor 3 bulan berada di level 2,462%, sementara untuk tenor 10 tahun berada di level 2,455%.
Jika dihitung, terdapat waktu selama 109 hari dari awal terjadinya inversi pada tenor 3 dan 5 tahun (3/12/2018) hingga inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun terjadi (22/3/2019) atau masih sejalan dalam rentang waktu dalam 3 resesi terakhir.
Melansir Bloomberg, jika sudah terdapat inversi tenor 3 bulan dan 10 tahun, resesi bisa datang dalam waktu sekitar 18 bulan.
Jika berkaca pada sejarah, AS hampir pasti mengalami resesi. Sektor barang konsumsi yang anjlok 2,77% menjadi sektor dengan kontribusi terbesar bagi koreksi IHSG. Sejauh ini, indikator-indikator yang ada memang menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat Indonesia berada dalam posisi yang kuat.
Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan Februari terjadi deflasi sebesar 0,08% MoM, lebih dalam dibandingkan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yakni deflasi sebesar 0,05% MoM. Sementara itu, tingkat inflasi secara tahunan diumumkan di level 2,57%.
Sejatinya, deflasi bisa diinterpretasikan sebagai bukti dari lemahnya daya beli masyarakat Indonesia. Namun, deflasi pada bulan Februari praktis hanya disumbang oleh kelompok bahan makanan yang turun hingga 1,11% MoM. Sementara itu, enam komponen pembentuk inflasi lainnya membukukan kenaikan harga.
Lantas, secara keseluruhan investor melihat bahwa daya beli masyarakat Indonesia masih kuat. Penurunan tingkat harga pada kelompok bahan makanan lebih disebabkan oleh berlimpahnya pasokan atau distribusi yang baik.
Lebih lanjut, pesatnya penjualan barang-barang ritel juga meyakinkan investor bahwa daya beli dan konsumsi masyarakat Indonesia masih kuat.
Pada tanggal 11 Maret selepas perdagangan di bursa saham ditutup, Bank Indonesia (BI) merilis Survei Penjualan Eceran periode Januari 2019, menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel tumbuh sebesar 9,4% YoY pada bulan Januari, jauh di atas capaian periode yang sama tahun lalu yakni pertumbuhan sebesar 3,7% YoY saja.
Kemudian, angka sementara untuk pertumbuhan penjualan barang-barang ritel periode Februari 2019 berada di level 15,8% YoY, juga mengalahkan capaian periode yang sama tahun lalu yang sebesar 9,5% YoY.
Namun begitu, melambatnya aktivitas ekonomi Indonesia sebagai dampak dari resesi di AS akan membuat penciptaan lapangan kerja dan pertumbuhan pendapatan berada dalam tekanan.
Hal tersebut pada akhirnya berpotensi menekan pendapatan emiten-emiten barang konsumsi.
Jangan lupakan juga bahwa sejak menyentuh titik terendah dalam 1 tahun pada 12 November 2018 hingga penutupan perdagangan hari Jumat, indeks sektor barang konsumsi telah melesat sebesar 18,1%.
Alhasil, ruang bagi investor untuk melepas saham-saham barang konsumsi dan merealisasikan keuntungan yang sudah didapatkan menjadi begitu besar. Selepas melakukan beli bersih senilai Rp 1,34 triliun di pasar saham tanah air sepanjang pekan lalu, pada perdagangan hari ini investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 81,9 miliar.
Sinyal datangnya resesi di AS yang kian kuat membuat investor asing memasang mode defensif.
Lebih lanjut, pelemahan rupiah juga memantik aksi jual investor asing. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.175/dolar AS. Investor memilih melepas rupiah dan beralih memeluk dolar AS selaku safe haven di tengah ketidakpastian besar yang dihadapi saat ini.
5 besar saham yang dilepas investor asing adalah: PT Astra International Tbk/ASII (Rp 187,2 miliar), PT Intiland Development Tbk/DILD (Rp 65,2 miliar), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk/ICBP (Rp 48,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 46,8 miliar), dan PT Unilever Indonesia Tbk/UNVR (Rp 40,5 miliar).
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Hantu 'Resesi' Muncul Lagi, Hati-hati IHSG Lanjut Merosot!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular