
Mohon Bersabar, IHSG Sedang Hadapi Ujian Resesi AS
Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
25 March 2019 13:01

Jakarta,CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan sesi I, Jumat (21/3/2019), dengan melemah tipis sebesar 1,58% ke level 6.422,19.
Kinerja IHSG kompak dengan kinerja bursa utama kawasan Asia yang juga terus bertahan di zona merah: indeks Nikkei turun 3,29%, indeks Shanghai turun 1,37%, indeks Hang Seng turun 1,78%, indeks Kospi turun 1,78%, indeks Straits Times turun 1,42%.
Melemahnya IHSG disokong oleh penurunan yang cukup dalam pada Indeks sektor konsumen (JKCONS) dan indeks sektor aneka industri (JKMISC). Indeks sektor aneka industri turun 2,74% menjadi 1.249,71 poin, sedangkan indeks sektor konsumen terkoreksi 2,16% ke level 2.606,04 poin.
Lebih lanjut, hingga berita ini dimuat, investor asing juga telah mencatatkan aksi jual bersih (net buy foreign) di bursa saham reguler hingga Rp 185,97 miliar.
Emiten yang paling banyak dijual investor asing adalah PT Astra International Tbk/ASII (Rp 125,03 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 35,42 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 21,82 miliar), PT Bank Tabungan Negara/BBTN (Rp 15,05 miliar), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 14,53 miliar).
Pelaku pasar nampaknya masih dihantui oleh kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan tanda-tanda awal resesi ekonomi yang nampak dari pergerakan inversi yield obligasi pemerintah AS, Benua Biru, dan Jepang.
Jumat (22/3/2019), Indeks aktivitas manufaktur PMI Jerman bulan Maret menjadi 44,7 poin, turun dari bulan Februari yang senilai 47,6. Sementara untuk aktivitas sektor jasa PMI dirilis sebesar 54,9 turun, dibandingkan bulan Februari sebesar 55,3.
Sebagai informasi ISH Markit, institusi yang mempublikasikan data tersebut, mengukur data itu dengan melakukan survei aktivitas dari purchasing manager yang disebut purchasing managers index (PMI). Jika angka dirilis di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Saudaranya Jerman, Perancis, bahkan mencatatkan hasil yang lebih buruk. PMI bulan Maret sektor manufaktur Perancis turun menjadi 49,8, sedangkan jasa terkoreksi menjadi 48,7. Padahal di bulan Februari PMI Manufaktur dan Jasa masih di atas level 50 dengan perolehan masing-masing sebesar 51,5 dan 50,2 poin.
Kekhawatiran tersebut semakin diperparah ketika Negeri Paman Sam juga mengalami nasib serupa denga Benua Biru. Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi Markit untuk periode Maret adalah 52,5. Ini merupakan angka terendah sejak Juni 2017.
Buruknya rilis data akhir pekan kemarin memberikan gambaran pelambatan ekonomi yang semakin terkonfirmasi, yang tidak hanya melanda Uni Eropa, tapi juga US. Tanda-tanda awal resesi ekonomi global biasanya melihat pergerakan pada imbal hasil (yield) dari pasar obligasi, terutama pasar obligasi pemerintah. Kemudian yang diajukan acuan adalah obligasi tenor 3 bulan dengan obligasi tenor 10 tahun.
Ketika pergerakan yield dua seri obligasi tersebut menunjukkan terjadinya inversi, maka pelaku pasar memprediksi akan terjadi resesi ekonomi di masa yang akan datang.
Hingga berita ini dimuat, yield surat utang pemerintah AS (US Treasury Bonds) tenor 3 bulan sebasar 2,453%. Sementara tenor 10 tahun lebih rendah yaitu 2,433%, dilansir dari Refinitiv
Hal serupa juga tampak pada surat utang Uni Eropa dan pemerintah Jepang.
Surat utang Uni Eropa jangka waktu 3 bulan mencatatkan imbal hasil negatif yang lebih besar yaitu senilai -0,559%, sedangkan tenor 10 tahun yield ada di -0,019%.
Lalu, surat utang pemerintah Jepang jangka waktu 3 bulan juga mencatatkan imbal hasil negatif yang lebih tinggi yaitu senilai -0,17%, sedangkan tenor 10 tahun yield ada di -0,083%.
Inversi yang dimaksud adalah ketika perolehan imbal hasil obligasi jangka pendek lebih tinggi, dibandingkan jangka panjang, yang berarti investor meminta jaminan yang lebih besar karena besarnya resiko yang kemungkinan dihadapi dalam waktu dekat.
Inversi yield obligasi juga dapat diartikan pasar berekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.
Melansir dari Bloomberg, data historis perekonomian dunia menunjukkan bahawa jika sudah terdapat inversi antara yield obligasi tenor 3 bualn dan 10 tahun, maka resesi ekonomi diperkirakan akan datang dalam waktu sekitar 18 bulan.
Melihat tanda-tanda dan proyeksi tersebut, sudah pasti pelaku pasar memilih mundur dari investasi pada instrumen yang beresiko tinggi seperti pasar saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Hantu 'Resesi' Muncul Lagi, Hati-hati IHSG Lanjut Merosot!
Kinerja IHSG kompak dengan kinerja bursa utama kawasan Asia yang juga terus bertahan di zona merah: indeks Nikkei turun 3,29%, indeks Shanghai turun 1,37%, indeks Hang Seng turun 1,78%, indeks Kospi turun 1,78%, indeks Straits Times turun 1,42%.
Melemahnya IHSG disokong oleh penurunan yang cukup dalam pada Indeks sektor konsumen (JKCONS) dan indeks sektor aneka industri (JKMISC). Indeks sektor aneka industri turun 2,74% menjadi 1.249,71 poin, sedangkan indeks sektor konsumen terkoreksi 2,16% ke level 2.606,04 poin.
Emiten yang paling banyak dijual investor asing adalah PT Astra International Tbk/ASII (Rp 125,03 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 35,42 miliar), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (Rp 21,82 miliar), PT Bank Tabungan Negara/BBTN (Rp 15,05 miliar), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (Rp 14,53 miliar).
Pelaku pasar nampaknya masih dihantui oleh kekhawatiran perlambatan ekonomi global dan tanda-tanda awal resesi ekonomi yang nampak dari pergerakan inversi yield obligasi pemerintah AS, Benua Biru, dan Jepang.
Jumat (22/3/2019), Indeks aktivitas manufaktur PMI Jerman bulan Maret menjadi 44,7 poin, turun dari bulan Februari yang senilai 47,6. Sementara untuk aktivitas sektor jasa PMI dirilis sebesar 54,9 turun, dibandingkan bulan Februari sebesar 55,3.
Sebagai informasi ISH Markit, institusi yang mempublikasikan data tersebut, mengukur data itu dengan melakukan survei aktivitas dari purchasing manager yang disebut purchasing managers index (PMI). Jika angka dirilis di bawah 50 menunjukkan kontraksi atau memburuknya aktivitas bisnis. Sementara di atas 50 menunjukkan peningkatan aktivitas atau ekspansi.
Saudaranya Jerman, Perancis, bahkan mencatatkan hasil yang lebih buruk. PMI bulan Maret sektor manufaktur Perancis turun menjadi 49,8, sedangkan jasa terkoreksi menjadi 48,7. Padahal di bulan Februari PMI Manufaktur dan Jasa masih di atas level 50 dengan perolehan masing-masing sebesar 51,5 dan 50,2 poin.
Kekhawatiran tersebut semakin diperparah ketika Negeri Paman Sam juga mengalami nasib serupa denga Benua Biru. Pembacaan awal Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur AS versi Markit untuk periode Maret adalah 52,5. Ini merupakan angka terendah sejak Juni 2017.
Buruknya rilis data akhir pekan kemarin memberikan gambaran pelambatan ekonomi yang semakin terkonfirmasi, yang tidak hanya melanda Uni Eropa, tapi juga US. Tanda-tanda awal resesi ekonomi global biasanya melihat pergerakan pada imbal hasil (yield) dari pasar obligasi, terutama pasar obligasi pemerintah. Kemudian yang diajukan acuan adalah obligasi tenor 3 bulan dengan obligasi tenor 10 tahun.
Ketika pergerakan yield dua seri obligasi tersebut menunjukkan terjadinya inversi, maka pelaku pasar memprediksi akan terjadi resesi ekonomi di masa yang akan datang.
Hingga berita ini dimuat, yield surat utang pemerintah AS (US Treasury Bonds) tenor 3 bulan sebasar 2,453%. Sementara tenor 10 tahun lebih rendah yaitu 2,433%, dilansir dari Refinitiv
Hal serupa juga tampak pada surat utang Uni Eropa dan pemerintah Jepang.
Surat utang Uni Eropa jangka waktu 3 bulan mencatatkan imbal hasil negatif yang lebih besar yaitu senilai -0,559%, sedangkan tenor 10 tahun yield ada di -0,019%.
Lalu, surat utang pemerintah Jepang jangka waktu 3 bulan juga mencatatkan imbal hasil negatif yang lebih tinggi yaitu senilai -0,17%, sedangkan tenor 10 tahun yield ada di -0,083%.
Inversi yang dimaksud adalah ketika perolehan imbal hasil obligasi jangka pendek lebih tinggi, dibandingkan jangka panjang, yang berarti investor meminta jaminan yang lebih besar karena besarnya resiko yang kemungkinan dihadapi dalam waktu dekat.
Inversi yield obligasi juga dapat diartikan pasar berekspektasi bahwa pertumbuhan ekonomi saat ini lebih besar dibanding pertumbuhan ekonomi di masa yang akan datang.
Melansir dari Bloomberg, data historis perekonomian dunia menunjukkan bahawa jika sudah terdapat inversi antara yield obligasi tenor 3 bualn dan 10 tahun, maka resesi ekonomi diperkirakan akan datang dalam waktu sekitar 18 bulan.
Melihat tanda-tanda dan proyeksi tersebut, sudah pasti pelaku pasar memilih mundur dari investasi pada instrumen yang beresiko tinggi seperti pasar saham.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(dwa/hps) Next Article Hantu 'Resesi' Muncul Lagi, Hati-hati IHSG Lanjut Merosot!
Most Popular