Tertinggi Dalam 3 Pekan! Harga Emas Diangkat Sentimen Global

Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
21 March 2019 14:04
Tertinggi Dalam 3 Pekan! Harga Emas Diangkat Sentimen Global
Foto: REUTERS/Edgar Su
Jakarta, CNBC Indonesia - Pada perdagangan Kamis siang ini (21/3/2019), harga emas masih betah berada di atas awan.

Hingga pukul 13:00 WIB, harga emas kontrak April di bursa New York Commodity Exchange (COMEX) melesat sebesar 1,30% ke posisi US$ 1.318,6/troy ounce, setelah melemah 0,37% kemarin (20/3/2019)

Adapun harga emas di pasar spot juga naik 0,49% ke posisi US$ 1.318,65/troy ounce, setelah menguat 0,45% pada perdagangan kemarin.

Selama sepekan harga emas di bursa COMEX dan spot telah menguat sebesar 1,81%. Sedangkan sejak awal tahun rata-rata kenaikan harga keduanya sebesar 2,86%.

Pada posisi saat ini, harga emas COMEX dan Spot sama-sama berada pada titik tertingginya sejak tiga minggu lalu, atau sejak 28 Februari 2019.




Dini hari tadi, Bank Sentral Amerika Serikat (AS) mengumumkan hasil rapat bulanan yang telah digelar pada Selasa-Rabu (19-20/3/2019) lalu.

Sesuai dugaan, The Fed masih tetap menahan tingkat suku bunga acuan (Federal Funds Rate/FFR) pada kisaran 2,25-2,5% atau median 2,375%.

Akan tetapi, ternyata keadaan perekonomian yang masih belum kunjung membaik, alias masih lambat memaksa The Fed untuk memangkas proyeksi suku bunga hingga akhir tahun 2019.

Hal tersebut terlihat dari dot plot (proyeksi arah suku bunga jangka menegah) yang berubah. Jika pada dot plot Desember 2019 proyeksi suku bunga The Fed berada di median 2,875% pada akhir 2019, pada dot plot terbaru nilainya turun menjadi 2,375%.

Ini berarti kemungkinan besar, FFR masih akan terus bertahan pada level yang sekarang, bahkan hingga akhir tahun 2019.

Akibatnya, kejayaan dolar yang terjadi pada tahun 2018 menjadi tinggal kenangan yang sukar untuk diulangi. Kala itu, The Fed menaikkan suku bunga hingga empat kali. Dolar menjadi tak punya lawan sebanding.

Tak hanya itu, Gubernur The Fed, Jerome Powell juga menuliskan bahwa bank sentral akan mulai menghentikan program quantitative easing secara bertahap mulai Mei mendatang, hingga habis total pada bulan September.

Seperti yang telah diketahui, sejak akhir 2017, bank sentral AS rajin melepas kepemilikan obligasi untuk mengurangi neraca yang gemuk. Setiap bulan, The Fed mengurangi sekitar US$ 50 miliar kepemilikan obligasi mereka yang mencapai sekitar US$ 4 triliun.

Alhasil kala itu likuiditas dolar di pasar akan semakin ketat, karena uang mengalir ke dalam simpanan The Fed. Semakin langka dolar beredar, maka greenback juga makin jaya.

Dengan berakhirnya pengurangan neraca, dampaknya akan mirip dengan menahan suku bunga. Secara umum, ini dapat dilihat sebagai akhir dari normalisasi kebijakan moneter di AS.

Tanpa adanya normalisasi neraca, dolar akan sulit menahan tekanan-tekanan dari mata uang lain. Alias sulit menguat, bahkan rentan untuk terdepresiasi.

Sudah tentu keadaan ini membuat investor cenderung enggan untuk berlama-lama memegang dolar. Pasalnya, jika nilainya terdepresiasi, maka nilai kekayaan akan tergerus.

Emas pun menjadi gencar diburu investor karena sifatnya yang sering dijadikan pelindung nilai. Maklum, fluktuasi nilai emas memang relatif rendah dibandingkan instrumen beresiko lainnya.

Selain itu meningkatnya risiko perekonomian global juga semakin memantapkan hati investor untuk kembali mengoleksi emas.

(BERLANJUT KE HALAMAN BERIKUTNYA) Pada hari Selasa (19/3/2019) Bloomberg mengabarkan bahwa beberapa pejabat administratif AS dibuat cemas lantaran China enggan untuk memenuhi beberapa permintaan Washington.

Memang belum ada keterangan lebih lanjut perihal permintaan mana yang agaknya sulit untuk dikabulkan oleh China.

Tak lama setelahnya, kabar perihal rencana Perwakilan Dagang AS, Robert Lighthizer dan Menteri Keuangan AS, Steven Mnuchin untuk bertandang ke Beijing pekan depan mencuat, mengutip Reuters. Wakil Perdana Menteri China, Liu He disebut-sebut akan kembali menggelar dialog dagang lanjutan dengan dua perwakilan AS tersebut.

Selanjutnya, hari ini Presiden AS, Donald Trump juga kembali melontarkan komentar yang membuat pelaku pasar grogi. Saat ditanya apakah ia akan menghapuskan tarif impornya terhadap China, Trump justru menyanggahnya.

"Kami tidak berbicara tentang menghapusnya (bea masuk). Kami berbicara tentang menundanya untuk jangka waktu yang cukup lama karena kami harus memastikan bahwa jika kami memiliki kesepakatan, maka China harus menjalankan itu."

Kalau sudah begini, akan makin sulit menerka ke mana arah damai dagang yang sudah lama didambakan. Potensi tak ada kesepakatan sama sekali masih ada, dan bila terjadi, perang dagang jilid II berpotensi kembali meletus.

Pasalnya, Gedung putih telah bermaklumat untuk menaikkan bea impor produk asal China senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) bila tidak ada kesepakatan apapun.

Beralih ke Benua Biru, nasib Brexit juga masih belum menemui titik terang. Pada pertemuan Uni Eropa yang akan dilansungkan di Brussel pada hari Kamis (21/3/2019) waktu setempat akan menentukan perpanjangan waktu pelaksanaan Brexit.

Bila mengacu pada kesepakatan awal, sejatinya Inggris akan resmi angkat kaki dari Uni Eropa per tanggal 29 Maret pukul 23:00 waktu setempat. Namun kemarin Perdana Menteri Inggris, Theresa May sudah secara resmi meminta perpanjangan waktu hingga 30 Juni dalam sebuah surat resmi kepada Uni Eropa.

Sebenarnya, Brussel sudah membuka pintu perpanjangan waktu apabila London meminta. Akan tetapi permintaan tersebut harus disertai dengan suatu langkah kongkrit yang akan dilakukan di sepanjang waktu tambahan.

"Saya yakin perpanjangan waktu dimungkinkan. Namun dengan syarat ada perkembangan positif mengenai nasib proposal Brexit di parlemen," tegas Donald Tusk, Presiden Dewan Uni Eropa, dikutip dari Reuters.

Karena kondisi yang masih tak pasti, investor akan makin segan untuk agresif berinvestasi pada instrumen berisiko. Salah langkah bisa berakibat fatal. Tak ayal, kemilau emas makin memukau hari ini.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(taa/gus) Next Article Harga Emas Tertatih untuk Bangkit

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular