
Trump-Xi Jinping Tak Jelas, Harga Minyak Kian Tertekan
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
20 March 2019 09:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia pada perdagangan Rabu pagi ini (20/3/2019) berada di zona merah seiring dengan masih tingginya tekanan dari ekonomi global.
Hingga pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent yang menjadi patokan pasar Asia dan Eropa, untuk kontrak Mei amblas 0,13% ke posisi US$ 67,52/barel, setelah menguat 0,1% pada perdagangan Selasa kemarin (19/3/2019).
Adapun jenis lightsweet (WTI) yang menjadi patokan pasar Amerika, untuk kontrak April terkoreksi 0,32% ke level US$ 58,84/barel, setelah juga turun 0,1% pada perdagangan kemarin.
Secara mingguan, harga Brent tercatat melemah 0,04%, sedangkan WTI naik 1% secara point-to-point. Sejak awal tahun, keduanya telah terdongkrak sekitar 27%.
Harga minyak turun seiring dengan perkembangan yang kurang baik dari perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Bloomberg melaporkan bahwa beberapa pejabat AS di Washington khawatir karena ada kemungkinan China menolak memenuhi permintaan AS, seperti yang dilansir dari Reuters.
Memang tidak disebutkan permintaan apa yang enggan dipenuhi oleh Beijing, tapi sejumlah hal yang sempat dituntut AS adalah perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, dan penghapusan kewajiban transfer teknologi.
Masalah lain yakni nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental dan penghapusan subsidi di berbagai sektor perekonomian Negeri Panda.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Sebelumnya, sebuah harian lokal China mengabarkan bahwa pertemuan Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping batal terlaksana bulan Maret dan diundur hingga Juni.
Dengan begini, damai dagang AS-China masih ada kemungkinan untuk batal. Bila itu terjadi, maka perekonomian global akan tenggelam semakin dalam.
Pasalnya, Gedung Putih sempat bermaklumat akan menaikkan bea impor produk asal Cina yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) bila tidak ada kesepakatan apapun.
Tentu saja China tak akan tinggal diam. Potensi saling lempar tarif yang juga terjadi pada tahun 2018 akan terulang. Bahkan bisa lebih parah.
Kala perekonomian kembali melambat, maka permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak juga bisa berkurang. Sebab, permintaan energi akan bergerak beriringan dengan gairah perekonomian global.
Namun pada malam hari nanti, lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) akan kembali mengumumkan perkembangan stok dan produksi minyak di AS.
Perhatian pelaku pasar kemungkinan besar akan tertuju pada hal tersebut mengingat berhubungan langsung dengan keseimbangan fundamental.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Hingga pukul 09:00 WIB, harga minyak Brent yang menjadi patokan pasar Asia dan Eropa, untuk kontrak Mei amblas 0,13% ke posisi US$ 67,52/barel, setelah menguat 0,1% pada perdagangan Selasa kemarin (19/3/2019).
Adapun jenis lightsweet (WTI) yang menjadi patokan pasar Amerika, untuk kontrak April terkoreksi 0,32% ke level US$ 58,84/barel, setelah juga turun 0,1% pada perdagangan kemarin.
Harga minyak turun seiring dengan perkembangan yang kurang baik dari perundingan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China.
Bloomberg melaporkan bahwa beberapa pejabat AS di Washington khawatir karena ada kemungkinan China menolak memenuhi permintaan AS, seperti yang dilansir dari Reuters.
Memang tidak disebutkan permintaan apa yang enggan dipenuhi oleh Beijing, tapi sejumlah hal yang sempat dituntut AS adalah perlindungan terhadap hak atas kekayaan intelektual, dan penghapusan kewajiban transfer teknologi.
Masalah lain yakni nilai tukar yuan yang lebih mencerminkan fundamental dan penghapusan subsidi di berbagai sektor perekonomian Negeri Panda.
"China mungkin mundur lagi dalam beberapa hal yang disepakati dalam dialog dagang. Kemudian pasar juga sedang menantikan pengumuman dari The Fed," ujar Bucky Hellwig, Senior Vice President di BB&T Wealth Management yang berbasis di Alabama, mengutip Reuters.
Sebelumnya, sebuah harian lokal China mengabarkan bahwa pertemuan Presiden AS, Donald Trump dan Presiden China, Xi Jinping batal terlaksana bulan Maret dan diundur hingga Juni.
Dengan begini, damai dagang AS-China masih ada kemungkinan untuk batal. Bila itu terjadi, maka perekonomian global akan tenggelam semakin dalam.
Pasalnya, Gedung Putih sempat bermaklumat akan menaikkan bea impor produk asal Cina yang senilai US$ 200 miliar menjadi 25% (dari yang semula 10%) bila tidak ada kesepakatan apapun.
Tentu saja China tak akan tinggal diam. Potensi saling lempar tarif yang juga terjadi pada tahun 2018 akan terulang. Bahkan bisa lebih parah.
Kala perekonomian kembali melambat, maka permintaan energi yang salah satunya berasal dari minyak juga bisa berkurang. Sebab, permintaan energi akan bergerak beriringan dengan gairah perekonomian global.
Namun pada malam hari nanti, lembaga resmi pemerintah AS, Energy Information Administration (EIA) akan kembali mengumumkan perkembangan stok dan produksi minyak di AS.
Perhatian pelaku pasar kemungkinan besar akan tertuju pada hal tersebut mengingat berhubungan langsung dengan keseimbangan fundamental.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(taa/tas) Next Article Sepekan Melejit 5% Lebih, Harga Minyak Dunia kini Terpeleset
Most Popular