
Rupiah, Bintang Mata Uang Dunia yang Sekarang Redup Sinarnya
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
18 March 2019 15:47

Apa yang terjadi? Mengapa sinar rupiah meredup?
Pertama, rupiah kemungkinan terserang koreksi teknikal. Setelah menguat tajam, memang sudah lazim ada pembalikan arah karena pelaku pasar berpikir sudah saatnya keuntungan yang didapat segera dicairkan. Rupiah pun rentan terkena aksi jual.
Kedua, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) pada tahun ini kemungkinan besar tidak ada seagresif tahun lalu. Sepanjang 2018, BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 basis poin (bps).
Untuk tahun ini, bahkan Gubernur Perry Warjiyo membuka peluang untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate. Syaratnya, stabilitas ekonomi terjaga seperti sekarang.
Baca: Pengumuman! BI Siap Turunkan Bunga Acuan, Asal...
Tanpa dukungan kenaikan suku bunga, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) mungkin tidak semenarik tahun lalu. Akibatnya, investor pun perlahan mulai melepas aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
Sementara dari sisi eksternal, rupiah sepertinya terbeban akibat harga minyak yang dalam tren naik. Sejak awal tahun, harga minyak jenis brent melonjak 25,2% dan light sweet meroket 28,8%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai.
Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam.
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pertama, rupiah kemungkinan terserang koreksi teknikal. Setelah menguat tajam, memang sudah lazim ada pembalikan arah karena pelaku pasar berpikir sudah saatnya keuntungan yang didapat segera dicairkan. Rupiah pun rentan terkena aksi jual.
Kedua, kebijakan moneter Bank Indonesia (BI) pada tahun ini kemungkinan besar tidak ada seagresif tahun lalu. Sepanjang 2018, BI menaikkan suku bunga acuan sampai 175 basis poin (bps).
Baca: Pengumuman! BI Siap Turunkan Bunga Acuan, Asal...
Tanpa dukungan kenaikan suku bunga, berinvestasi di aset-aset berbasis rupiah (terutama di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi) mungkin tidak semenarik tahun lalu. Akibatnya, investor pun perlahan mulai melepas aset-aset berbasis mata uang Tanah Air.
Sementara dari sisi eksternal, rupiah sepertinya terbeban akibat harga minyak yang dalam tren naik. Sejak awal tahun, harga minyak jenis brent melonjak 25,2% dan light sweet meroket 28,8%.
Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Pasalnya, Indonesia adalah negara net importir minyak, mau tidak mau harus mengimpor karena produksi dalam negeri yang belum memadai.
Saat harga minyak naik, maka biaya impornya semakin mahal. Semakin banyak devisa yang 'terbakar' untuk mengimpor minyak, sehingga membuat defisit transaksi berjalan (current account) berpotensi melebar atau semakin dalam.
Transaksi berjalan adalah fondasi penting bagi stabilitas nilai tukar. Tanpa transaksi berjalan yang kuat, rupiah akan rawan terdepresiasi.
Investor bisa saja menjadi enggan untuk mengoleksi aset berbasis rupiah, karena khawatir nilainya akan turun pada kemudian hari. Risiko aksi jual akan terus membayangi rupiah jika masalah di transaksi berjalan tidak kunjung dipecahkan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular