Morgan Stanley Ramal Bunga Acuan BI Turun 75 Bps, Mungkinkah?

Herdaru Purnomo & Anthony Kevin, CNBC Indonesia
16 March 2019 09:50
Morgan Stanley Ramal Bunga Acuan BI Turun 75 Bps, Mungkinkah?
Foto: Morgan Stanley (REUTERS)
Jakarta, CNBC Indonesia - Investment bank kenamaan dunia Morgan Stanley (MS) belum lama ini merilis risetnya terkait ekonomi dan strategi investasi di Indonesia.

Dalam riset bertajuk "When Easing Risks Become Reality" tertanggal 13 Maret tersebut, Morgan Stanley membuat sebuah proyeksi yang cukup mencengangkan. Mereka memperkirakan Bank Indonesia (BI) akan memangkas suku bunga acuan sebesar 75 bps pada kuartal-III 2019.

"Kami memproyeksikan BI memangkas (suku bunga acuan) 75 bps pada kuartal-III 2019 seiring dengan ditundanya normalisasi oleh The Fed, rendahnya inflasi, dan CAD yang menyempit..." demikian tulis Morgan Stanley dalam risetnya.

Sebagai informasi, perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17% pada tahun lalu, jauh lebih rendah dibandingkan target dalam APBN yang sebesar 5,4%. Lantas, penurunan suku bunga acuan memang akan menjadi angin segar bagi perekonomian Indonesia yang sedang terseok-seok ini.

Namun, mungkinkah BI memangkas suku bunga acuan hingga 75 bps hanya dalam satu kuartal?



Justru Ada Peluang The Fed Pangkas Suku Bunga Acuan

Ditundanya normalisasi oleh The Federal Reserve selaku bank sentral AS menjadi salah satu alasan Morgan Stanley dalam memproyeksikan pemangkasan suku bunga acuan oleh BI.

Sejatinya, ekspektasi pelaku pasar terhadap arah kebijakan suku bunga acuan The Fed bisa dihitung melalui pergerakan harga instrumen Fed Fund futures. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak Fed Fund futures per 15 Maret 2019, sama sekali tak ada peluang bagi The Fed untuk mengerek suku bunga acuan pada tahun ini.

Justru, ada kemungkinan bahwa The Fed akan memangkas suku bunga acuan. Probabilitas suku bunga acuan dipangkas sebesar 25 bps pada tahun ini berada di level 22,9%. Bahkan, ada juga peluang The Fed memangkas suku bunga acuan sebesar 50 bps, walaupun kecil saja yakni sebesar 2,7%.

Kemungkinan terbesar, The Fed akan menahan suku bunga acuan di sepanjang tahun ini. Probabilitas suku bunga acuan tetap berada di rentang 2,25%-2,5% pada akhir tahun ini adalah sebesar 74,2%.

Dalam pengambilan keputusannya, The Fed memperhatikan dua indikator utama yakni inflasi dan pasar tenaga kerja. Berbicara mengenai inflasi, The Fed menggunakan Personal Consumption Expenditures (PCE) price index sebagai ukurannya. Target jangka panjang untuk inflasi adalah 2%.

Untuk periode Desember 2018, PCE price index tumbuh sebesar 1,7% YoY atau masih berada di bawah target The Fed. Dengan melihat data ini, tentu normalisasi suku bunga acuan menjadi sulit untuk dilakukan. Apalagi, Gubernur The Fed Jerome Powell memang sudah berkali-kali menegaskan bahwa pihaknya akan lebih bersabar dalam melakukan normalisasi seiring inflasi yang rendah dan terkendali.

Terkait dengan data tenaga kerja, pada pekan lalu penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian periode Februari diumumkan sebanyak 20.000 saja, sangat jauh di bawah konsensus yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory. Penciptaan lapangan kerja pada bulan lalu merupakan yang terlemah sejak September 2017.

Dengan melihat data inflasi dan tenaga kerja tersebut, menjadi masuk akal jika kita memproyeksikan The Fed belum akan mengerek naik tingkat suku bunga acuan pada tahun ini. Lebih lanjut, pemotongan sebesar 25 bps juga menjadi masuk akal. Berbicara mengenai defisit transaksi berjalan/Current Account Deficit (CAD), kondisinya memang bisa diekspektasikan akan lebih baik pada tahun ini. Pasalnya, neraca dagang yang merupakan komponen pembentuk transaksi berjalan membukukan defisit yang lebih kecil dalam 2 bulan pertama tahun ini.

Sebagai informasi, sepanjang tahun 2018 CAD tercatat sebesar 2,98% dari PDB, terdalam sejak tahun 2014.

Jika ditotal, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 734 juta dalam dua bulan pertama tahun ini, lebih rendah dibandingkan defisit pada dua bulan pertama tahun 2018 yang mencapai US$ 809 juta.

Bahkan, pada Februari 2019 neraca dagang Indonesia membukukan surplus senilai US$ 330 juta, walaupun memang surplus tersebut dihasilkan oleh penurunan impor yang lebih dalam daripada penurunan ekspor. Sepanjang bulan lalu, ekspor terkontraksi 11,33% secara tahunan, sementara impor anjlok hingga 13,98%.

Namun jika berbicara mengenai ruang penurunan suku bunga acuan, defisit neraca dagang yang lebih tipis (yang pada akhirnya berpotensi menipiskan CAD) memang membuka ruang bagi bank sentral untuk melakukan pelonggaran. Namun, belum tentu juga BI bisa benar-benar memangkas suku bunga acuan. Walaupun perkembangan ekonomi di AS dan Indonesia membuka ruang bagi BI untuk melonggarkan suku bunga acuan, hal ini akan sangat ditentukan oleh perkembangan dari 2 isu utama yang saat ini menyelimuti perekonomian dan pasar keuangan dunia, yakni perang dagang AS-China dan perceraian Inggris-Uni Eropa (Brexit).

Saat ini, ada kecenderungan perang dagang AS-China dan Brexit akan berlangsung berlarut-larut. Berbicara mengenai perang dagang AS-China, sedianya ada rencana untuk mempertemukan Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping pada akhir bulan ini guna memfinalisasi perjanjian dagang.

Namun, pada hari Kamis (14/3/2019) tiga orang sumber mengatakan bahwa pertemuan antara Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping batal dilakukan akhir bulan ini, seperti dilansir dari Bloomberg.

Menurut salah seorang dari sumber tersebut, kalau jadi digelar pun, pertemuan antara Trump dan Xi baru akan terjadi pada akhir bulan April. Ada kemungkinan bahwa pertemuannya justru akan lebih mundur lagi.

Mundurnya pertemuan antara Trump dan Xi tersebut mengindikasikan bahwa negosiasi dagang kedua negara berjalan dengan alot. Memang, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer belum lama ini mengatakan bahwa isu-isu krusial belum mampu dipecahkan. Salah satu isu krusial yang dimaksud adalah terkait dengan perlindungan hak kekayaan intelektual.

Kemudian, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin juga mengungkapkan bahwa masih ada banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan.

"Kami bekerja keras untuk mencapai kesepakatan secepat mungkin. Ada dokumen lebih dari 150 halaman yang sedang kami kerjakan. Masih banyak pekerjaan, tetapi kami senang dengan perkembangan yang terjadi sampai saat ini," kata Mnuchin, mengutip Reuters.

Beralih ke Brexit, pada hari Kamis parlemen Inggris sepakat untuk memundurkan tanggal resmi Brexit yang saat ini dijadwalkan pada 29 Maret. Sebanyak 412 anggota parlemen mendukung opsi tersebut, sementara sebanyak 202 menolak.

Jika kesepakatan Brexit yang diajukan Perdana Menteri Inggris Theresa May bisa diloloskan di parlemen sebelum 20 Maret, maka May akan meminta Uni Eropa untuk memundurkan tanggal resmi Brexit menjadi 30 Juni. Namun jika tak ada kesepakatan hingga 20 Maret, May mengatakan bahwa dirinya akan meminta perpanjangan waktu yang lebih lama.

Sebelumnya, Presiden Dewan Eropa Donald Tusk mengatakan bahwa dirinya akan meminta kepada 27 negara anggota Uni Eropa lainnya untuk membuka pintu untuk perpanjangan waktu yang lama bagi Inggris.

"Dalam kunjungan saya menjelang EUCO (European Convention), saya akan meminta kepada 27 negara Uni Eropa untuk membuka diri terhadap perpanjangan yang lama jika Inggris merasa perlu untuk memikirkan kembali strategi Brexit-nya dan menciptakan konsensus," cuit Tusk melalui akun Twitter @eucopresident.

Lantas, sudah perang dagang berpotensi berlarut-larut, Brexit juga serupa. Jika hal tersebut benar terjadi nantinya, investor akan lebih cenderung memilih memegang dolar AS selaku safe haven.

Kala dolar AS perkasa dan rupiah tertekan, tentu ruang bagi BI untuk memangkas suku bunga acuan menjadi berkurang atau bahkan hilang sepenuhnya.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank) Next Article Segenap Alasan BI Tahan Lagi Suku Bunga Acuan di Level 3,5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular