Rupiah Loyo, Tembus Rp 14.300/US$ di Kurs Tengah BI

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
15 March 2019 10:32
Rupiah Jadi Korban <i>Profit Taking</i>
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Sepertinya rupiah jadi korban aksi ambil untung (profit taking). Maklum, mata uang Tanah Air masih menguat 0,79% terhadap dolar AS sejak awal tahun. Pintu untuk mencairkan keuntungan masih terbuka, sehingga rupiah bisa melemah kapan saja akibat tekanan jual. 



Selain itu, ada kemungkinan rupiah tertekan akibat harga minyak yang mulai merangkak naik. Pada pukul 10:14 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,06% dan 0,03%.  

Kenaikan harga minyak bukan berita baik buat rupiah. Saat harga minyak naik, maka biaya impornya membengkak dan membuat defisit transaksi berjalan (current account deficit) semakin lebar. 

Sementara faktor-faktor lain sebenarnya positif buat rupiah. Dari dalam negeri, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan neraca perdagangan Februari 2019 surplus US$ 330 juta. Jauh lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan defisit US$ 841 juta. 


Kemudian data ekonomi China juga lumayan oke. Rata-rata harga rumah baru di Negeri Tirai Bambu pada Februari 2019 naik 10,4% YoY, lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 10% YoY. Kenaikan pada Februari menjadi terbaik sejak Mei 2017. 

Perkembangan Brexit juga lumayan positif karena parlemen Inggris menyetujui perpanjangan waktu perpisahan Inggris dengan Uni Eropa. Perceraian yang sedianya berlangsung pada 29 Maret diminta mundur setidaknya menjadi 30 Juni. 

Bahkan Uni Eropa menawarkan perpanjangan waktu yang lebih lama, yaitu setahun. Dengan begitu, Inggris punya lebih banyak waktu untuk mendapatkan kesepakatan terbaik. 

Namun ternyata profit taking dan harga minyak sudah cukup untuk membuat rupiah melemah. Sayang sekali...



TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular