
Menguat 0,56%, IHSG Akhirnya Sentuh 6.400 Lagi
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 March 2019 16:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri perdagangan hari ini dengan penguatan sebesar 0,56% ke level 6.413,27. IHSG lantas kembali menembus level psikologis 6.400 setelah terakhir kali ditutup di atas level terebut pada tanggal 6 Maret.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan terhadap kenaikan IHSG adalah: PT Astra International Tbk/ASII (+2,46%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,97%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+3,42%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,72%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+2,36%).
Penguatan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,15%, indeks Straits Times naik 0,08%, dan indeks Kospi naik 0,34%. Sementara itu, indeks Shanghai anjlok 1,2% dan indeks Nikkei melemah 0,02%.
Angin segar yang datang dari Negeri Ratu Elizabeth berhasil memantik aksi beli di bursa saham regional. Kemarin (13/3/2019) waktu setempat, parlemen Inggris menolak opsi No-Deal Brexit. Dalam pemungutan suara, sebanyak 321 anggota parlemen menolak opsi perpisahan secara kasar tersebut, sementara sebanyak 278 memberikan dukungannya.
Pada perdagangan kemarin, pelaku pasar saham kawasan Asia dibuat bermain defensif sembari menantikan hasil pemungutan suara tersebut. Hal ini sejatinya wajar. No-Deal Brexit akan membuat aktivitas ekspor-impor Inggris menjadi tertekan lantaran akan terkena tarif yang lebih mahal.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah resesi di Inggris akan secara signifikan menekan laju perekonomian dunia.
Memang, ada langkah proaktif yang diambil oleh pemerintah Inggris seandainya No-Deal Brexit terjadi. Melalui kebijakan yang diumumkan kemarin dengan nama "Temporary Tariff Regime", Inggris tak akan mengenakan bea masuk untuk mayoritas barang yang masuk ke negaranya jika No-Deal Brexit terjadi.
Hal ini dilakukan guna melindungi pebisnis dan konsumen dari lonjakan harga yang begitu tinggi. Melalui kebijakan ini, sebanyak 87% dari barang yang diimpor oleh Inggris (berdasarkan nilainya) akan mendapatkan akses bea masuk 0%.
Namun, seperti yang diimplikasikan oleh namanya, kebijakan ini bersifat temporer yakni selama 12 bulan saja. Jika terjadi, dampak dari No-Deal Brexit tetap akan besar. Di sisi lain, data ekonomi China yang dirilis pada hari ini membatasi penguatan bursa saham Benua Kuning. Bahkan, indeks Shanghai dibuat anjlok karenanya. Memang, investasi riil China periode Januari-Februari 2019 diumumkan tumbuh 6,1% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun lalu, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 6%.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Januari-Februari 2019 tumbuh sebesar 8,2% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,1% YoY.
Namun, data yang menjadi masalah adalah produksi industri. Sepanjang Januari-Februari 2019, produksi industri di Negeri Panda tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri lantas kian memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Rilis data ekonomi pada hari-hari sebelumnya memang sudah terlebih dulu mengindikasikan hal tersebut.
Belum lama ini, ekspor China periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Kemudian, penjualan mobil sepanjang bulan Februari diumumkan anjlok hingga 13,8% secara tahunan, seperti dilansir dari Trading Economics. Penurunan tersebut merupakan yang kedelapan secara berturut-turut. Sejatinya, penguatan IHSG bisa lebih tinggi lagi kalau investor asing tak keluar dari bursa saham tanah air. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 313,4 miliar, menandai jual bersih yang kelima secara berturut-turut.
5 besar saham yang dilepas investor asing pada hari ini adalah: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 146,1 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 89,8 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 88,7 miliar), PT JAPFA Tbk/JPFA (Rp 52,8 miliar), dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (Rp 29,9 miliar).
Pelemahan rupiah memantik aksi jual investor asing. Di pasar spot, rupiah melemah 0,07% ke level Rp 14.270/dolar AS. Kala rupiah melemah, investor asing akan terdorong untuk melakukan aksi jual lant aran ada potensi kerugian kurs yang harus mereka tanggung.
Neraca dagang yang diprediksi akan kembali membukukan defisit membuat investor memilih untuk melepas rupiah dan beralih memeluk dolar AS.
Besok (15/3/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2019. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi sebesar 4,26% YoY, sementara impor diproyeksikan naik tipis 0,4% YoY. Alhasil, neraca dagang diperkirakan defisit senilai US$ 841 juta. Jika benar neraca dagang Indonesia kembali defisit, maka akan menjadi yang kelima secara berturut-turut.
Sebagai informasi, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,16 miliar pada bulan Januari. Defisit neraca dagang periode Januari 2019 adalah yang terparah dalam setidaknya 12 tahun terakhir. Biasanya, bulan Januari justru menghasilkan surplus. Dalam 12 tahun terakhir, hanya 4 kali neraca dagang membukukan defisit pada bulan Januari, sementara surplus tercatat sebanyak 8 kali.
Dengan neraca dagang yang terus membukukan defisit, defisit transaksi berjalan/CurrentAaccount Deficit (CAD) bisa terus membengkak kedepannya. Sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Wajar jika rupiah kini melemah menyambut rilis data neraca dagang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Saham-saham yang berkontribusi signifikan terhadap kenaikan IHSG adalah: PT Astra International Tbk/ASII (+2,46%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+2,97%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (+3,42%), PT Bank Negara Indonesia Tbk/BBNI (+1,72%), dan PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+2,36%).
Penguatan IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan zona hijau: indeks Hang Seng naik 0,15%, indeks Straits Times naik 0,08%, dan indeks Kospi naik 0,34%. Sementara itu, indeks Shanghai anjlok 1,2% dan indeks Nikkei melemah 0,02%.
Pada perdagangan kemarin, pelaku pasar saham kawasan Asia dibuat bermain defensif sembari menantikan hasil pemungutan suara tersebut. Hal ini sejatinya wajar. No-Deal Brexit akan membuat aktivitas ekspor-impor Inggris menjadi tertekan lantaran akan terkena tarif yang lebih mahal.
Sebelumnya, Bank of England yang merupakan bank sentral Inggris telah memperingatkan bahwa No-Deal Brexit bisa mengakibatkan resesi. Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Mengingat Inggris merupakan salah satu negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, tentulah resesi di Inggris akan secara signifikan menekan laju perekonomian dunia.
Memang, ada langkah proaktif yang diambil oleh pemerintah Inggris seandainya No-Deal Brexit terjadi. Melalui kebijakan yang diumumkan kemarin dengan nama "Temporary Tariff Regime", Inggris tak akan mengenakan bea masuk untuk mayoritas barang yang masuk ke negaranya jika No-Deal Brexit terjadi.
Hal ini dilakukan guna melindungi pebisnis dan konsumen dari lonjakan harga yang begitu tinggi. Melalui kebijakan ini, sebanyak 87% dari barang yang diimpor oleh Inggris (berdasarkan nilainya) akan mendapatkan akses bea masuk 0%.
Namun, seperti yang diimplikasikan oleh namanya, kebijakan ini bersifat temporer yakni selama 12 bulan saja. Jika terjadi, dampak dari No-Deal Brexit tetap akan besar. Di sisi lain, data ekonomi China yang dirilis pada hari ini membatasi penguatan bursa saham Benua Kuning. Bahkan, indeks Shanghai dibuat anjlok karenanya. Memang, investasi riil China periode Januari-Februari 2019 diumumkan tumbuh 6,1% jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun lalu, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan tersebut lebih tinggi dari konsensus yang sebesar 6%.
Kemudian, penjualan barang-barang ritel periode Januari-Februari 2019 tumbuh sebesar 8,2% YoY, di atas konsensus yang sebesar 8,1% YoY.
Namun, data yang menjadi masalah adalah produksi industri. Sepanjang Januari-Februari 2019, produksi industri di Negeri Panda tercatat hanya tumbuh sebesar 5,3% YoY, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 5,5%. Pertumbuhan tersebut menjadi yang terlambat dalam 17 tahun, seperti dilansir dari CNBC International.
Lemahnya produksi industri lantas kian memberi indikasi bahwa perekonomian China akan mengalami hard landing pada tahun ini. Rilis data ekonomi pada hari-hari sebelumnya memang sudah terlebih dulu mengindikasikan hal tersebut.
Belum lama ini, ekspor China periode Februari 2019 diumumkan terkontraksi sebesar 20,7% secara tahunan, jauh lebih dalam dibandingkan konsensus yang hanya memperkirakan penurunan sebesar 4,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Sementara itu, impor turun hingga 5,2%, juga lebih dalam dari ekspektasi yakni penurunan sebesar 1,4%.
Kemudian, penjualan mobil sepanjang bulan Februari diumumkan anjlok hingga 13,8% secara tahunan, seperti dilansir dari Trading Economics. Penurunan tersebut merupakan yang kedelapan secara berturut-turut. Sejatinya, penguatan IHSG bisa lebih tinggi lagi kalau investor asing tak keluar dari bursa saham tanah air. Hingga akhir perdagangan, investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 313,4 miliar, menandai jual bersih yang kelima secara berturut-turut.
5 besar saham yang dilepas investor asing pada hari ini adalah: PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 146,1 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 89,8 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 88,7 miliar), PT JAPFA Tbk/JPFA (Rp 52,8 miliar), dan PT Indah Kiat Pulp and Paper Tbk/INKP (Rp 29,9 miliar).
Pelemahan rupiah memantik aksi jual investor asing. Di pasar spot, rupiah melemah 0,07% ke level Rp 14.270/dolar AS. Kala rupiah melemah, investor asing akan terdorong untuk melakukan aksi jual lant aran ada potensi kerugian kurs yang harus mereka tanggung.
Neraca dagang yang diprediksi akan kembali membukukan defisit membuat investor memilih untuk melepas rupiah dan beralih memeluk dolar AS.
Besok (15/3/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) dijadwalkan merilis data perdagangan internasional Indonesia periode Februari 2019. Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan ekspor terkontraksi sebesar 4,26% YoY, sementara impor diproyeksikan naik tipis 0,4% YoY. Alhasil, neraca dagang diperkirakan defisit senilai US$ 841 juta. Jika benar neraca dagang Indonesia kembali defisit, maka akan menjadi yang kelima secara berturut-turut.
Sebagai informasi, neraca dagang Indonesia membukukan defisit senilai US$ 1,16 miliar pada bulan Januari. Defisit neraca dagang periode Januari 2019 adalah yang terparah dalam setidaknya 12 tahun terakhir. Biasanya, bulan Januari justru menghasilkan surplus. Dalam 12 tahun terakhir, hanya 4 kali neraca dagang membukukan defisit pada bulan Januari, sementara surplus tercatat sebanyak 8 kali.
Dengan neraca dagang yang terus membukukan defisit, defisit transaksi berjalan/CurrentAaccount Deficit (CAD) bisa terus membengkak kedepannya. Sepanjang kuartal-IV 2018, CAD Indonesia tercatat senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.
Jika berbicara mengenai rupiah, pos transaksi berjalan merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Wajar jika rupiah kini melemah menyambut rilis data neraca dagang.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular