
Perlambatan Ekonomi Dunia Lebih Dominan, IHSG Balik Melemah
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
11 March 2019 10:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka menguat 0,56%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kini justru ditransaksikan di zona merah. Pada pukul 9:55 WIB, IHSG melemah 0,15% ke level 6.373,46.
Perlambatan ekonomi dunia pada akhirnya terbukti lebih dominan dalam mendikte perdagangan di bursa saham dalam negeri. Pada hari Jumat lalu (8/3/2018), penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS periode Februari diumumkan sebanyak 20.000 saja, sangat jauh di bawah konsensus yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Memang, tingkat pengangguran berhasil ditekan ke level 3,8%, dari yang sebelumnya 4%. Namun jika lemahnya penciptaan lapangan kerja berlanjut kedepannya, tingkat pengangguran di AS bisa melonjak.
Rilis data ini lantas kian mengonfirmasi bahwa perekonomian dunia sedang berada dalam siklus perlambatan. Sebelumnya pada hari Selasa (5/3/2019), pemerintah China memangkas target pertumbuhan ekonomi untuk tahun 2019 menjadi ke kisaran 6%-6,5%. Sebelumnya, target pertumbuhan ekonomi tahun 2019 dipatok di kisaran 6,5%. Sebagai informasi, perekonomian China tumbuh sebesar 6,6% pada tahun 2018, menjadikannya pertumbuhan paling rendah sejak 1990 silam.
Awan mendung tak hanya menyelimuti perekonomian Asia, namun juga perekonomian Eropa. Pada hari Kamis (7/3/2019), European Central Bank (ECB) memutuskan untuk memangkas habis target pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk tahun ini menjadi 1,1%, dari yang sebelumnya 1,7%. Target pertumbuhan untuk tahun depan juga dipangkas menjadi 1,6%, dari yang sebelumnya 1,7%.
"Kehadiran dari ketidakpastian terkait dengan faktor-faktor geopolitik, ancaman dari proteksionisme, dan kerentanan di negara-negara berkembang nampak telah mempengaruhi sentimen ekonomi (di Zona Euro)," papar Gubernur ECB Mario Draghi dalam konferensi pers usai rapat, mengutip CNBC International. Kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi dunia membuat sentimen positif yang datang dari mesranya hubungan AS-China di bidang perdagangan menjadi tak terasa. Beijing menegaskan pihaknya bekerja siang dan malam demi terciptanya kesepakatan dagang dengan AS. Bahkan, China sudah mulai bicara soal menghapus pengenaan bea masuk.
"Bea masuk menurunkan kepercayaan investor dan membuat korporasi menunda investasinya. Sekarang, kedua pihak bekerja keras untuk mencapai kesepakatan. Semua itu bertujuan untuk menghapus bea masuk sehingga perdagangan AS-China menjadi normal kembali," jelas Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen, mengutip Reuters.
China pun berupaya untuk memenuhi keingingan AS, salah satunya adalah reformasi kebijakan subsidi. Kepala Komisi Administrasi dan Pengawasan Aset Negara China Xiao Yaqing menyatakan bahwa Beijing sedang membereskan isu ini.
"Bisa dibilang China tidak memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur subsidi bagi perusahaan milik negara. Oleh karena itu, China sedang membersihkan dan menyusun standar untuk berbagai subsidi," ungkap Xiao, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang mengatakan bahwa AS dan China telah mencapai kesepahaman dalam banyak isu-isu krusial.
Dari kubu AS, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China telah menciptakan kemajuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Perlambatan ekonomi dunia pada akhirnya terbukti lebih dominan dalam mendikte perdagangan di bursa saham dalam negeri. Pada hari Jumat lalu (8/3/2018), penciptaan lapangan kerja sektor non-pertanian AS periode Februari diumumkan sebanyak 20.000 saja, sangat jauh di bawah konsensus yang sebanyak 180.000, seperti dilansir dari Forex Factory.
Memang, tingkat pengangguran berhasil ditekan ke level 3,8%, dari yang sebelumnya 4%. Namun jika lemahnya penciptaan lapangan kerja berlanjut kedepannya, tingkat pengangguran di AS bisa melonjak.
Awan mendung tak hanya menyelimuti perekonomian Asia, namun juga perekonomian Eropa. Pada hari Kamis (7/3/2019), European Central Bank (ECB) memutuskan untuk memangkas habis target pertumbuhan ekonomi Zona Euro untuk tahun ini menjadi 1,1%, dari yang sebelumnya 1,7%. Target pertumbuhan untuk tahun depan juga dipangkas menjadi 1,6%, dari yang sebelumnya 1,7%.
"Kehadiran dari ketidakpastian terkait dengan faktor-faktor geopolitik, ancaman dari proteksionisme, dan kerentanan di negara-negara berkembang nampak telah mempengaruhi sentimen ekonomi (di Zona Euro)," papar Gubernur ECB Mario Draghi dalam konferensi pers usai rapat, mengutip CNBC International. Kekhawatiran terkait dengan perlambatan ekonomi dunia membuat sentimen positif yang datang dari mesranya hubungan AS-China di bidang perdagangan menjadi tak terasa. Beijing menegaskan pihaknya bekerja siang dan malam demi terciptanya kesepakatan dagang dengan AS. Bahkan, China sudah mulai bicara soal menghapus pengenaan bea masuk.
"Bea masuk menurunkan kepercayaan investor dan membuat korporasi menunda investasinya. Sekarang, kedua pihak bekerja keras untuk mencapai kesepakatan. Semua itu bertujuan untuk menghapus bea masuk sehingga perdagangan AS-China menjadi normal kembali," jelas Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen, mengutip Reuters.
China pun berupaya untuk memenuhi keingingan AS, salah satunya adalah reformasi kebijakan subsidi. Kepala Komisi Administrasi dan Pengawasan Aset Negara China Xiao Yaqing menyatakan bahwa Beijing sedang membereskan isu ini.
"Bisa dibilang China tidak memiliki regulasi yang secara spesifik mengatur subsidi bagi perusahaan milik negara. Oleh karena itu, China sedang membersihkan dan menyusun standar untuk berbagai subsidi," ungkap Xiao, dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Gubernur Bank Sentral China Yi Gang mengatakan bahwa AS dan China telah mencapai kesepahaman dalam banyak isu-isu krusial.
Dari kubu AS, Penasihat Ekonomi Gedung Putih Larry Kudlow mengatakan bahwa negosiasi dagang dengan China telah menciptakan kemajuan.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Pasca libur Lebaran, IHSG Rontok 4,42% ke Bawah 7.000
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular