
Sampai Kapan Mau Melemah, Rupiah?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 March 2019 14:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) semakin lesu di perdagangan pasar spot hari ini. Dibuka di bawah Rp 14.100, kini dolar AS leluasa menjelajah di kisaran Rp 14.300.
Pada Jumat (8/3/2019) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.320. Rupiah melemah 1,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi.
Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah. Pada pukul 14:49 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.330 di mana rupiah melemah 1,38%.
Mengawali perdagangan pasar spot, US$ 1 dibanderol Rp 14.195 di mana rupiah 'cuma' melemah 0,42%. Selepas itu, pelemahan rupiah semakin dalam seolah tanpa rem.
Rupiah pun masih menyandang status sebagai mata uang terlemah di Asia. Bahkan jarak depresiasi rupiah dengan mata uang lain begitu lebar.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 14:49 WIB:
Akhir-akhir ini, performa rupiah memang mengecewakan. Jika hari ini ditutup melemah, maka rupiah akan terdepresiasi 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir.
Sampai kapan rupiah akan seperti ini terus? Apa yang bisa menjadi harapan bagi rupiah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pekan depan ada beberapa sentimen yang bisa menggerakkan rupiah. Dari sisi eksternal, sepertinya pasar keuangan global akan merespons rilis data ketenagakerjaan AS yang akan dirilis dini hari nanti waktu Indonesia.
Mengutip konsensus yang dihimpun Reuters, penciptaan lapangan kerja di AS pada Februari 2019 diperkirakan 180.000. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 304.000.
Jadi walau kemungkinan penciptaan lapangan kerja di bawah 304.000 tetapi lebih dari atau sama dengan 180.000, maka bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Belum lagi jika angka pengangguran Februari ternyata sesuai ekspektasi yaitu 3,9% atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 4%.
Apabila data ketenagakerjaan AS sesuai atau melampaui ekspektasi, maka semakin membuka kemungkinan bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Sebab, perbaikan di pasar tenaga kerja menjadi syarat bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan, selain inflasi.
Sepertinya inflasi AS juga masih kuat, yang akan dibuktikan melalui rilis data penjualan ritel pada awal pekan. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan penjualan ritel di Negeri Paman Sam pada Januari 2019 tumbuh 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Membaik ketimbang pencapaian Desember 2018 yang turun 1,2% secara bulanan.
"Tujuan dari kebijakan kami saat ini adalah menjaga kemajuan yang telah dicapai untuk menuju penciptaan tenaga kerja yang maksimal dan inflasi yang sesuai dengan target," kata Lael Brainard, Anggota Dewan Gubernur The Fed, dikutip dari Reuters.
Akibatnya, data ini bisa menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS bila hasilnya memuaskan. Rupiah pun bisa mengalami tekanan lebih lanjut.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sentimen kedua adalah perkembangan Brexit di Inggris. Parlemen Inggris berencana menggelar pemungutan suara untuk menentukan menerima atau menolak proposal Brexit yang sudah direvisi oleh Perdana Menteri Theresa May.
Apabila nasib proposal ini sama seperti pendahulunya, yaitu ditolak, maka parlemen Negeri Ratu Elizabeth akan kembali mengadakan voting untuk memutuskan apakah menunda pelaksanaan Brexit yang dijadwalkan pada 29 Maret atau bercerai dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa (No Deal Brexit). Dua pilihan ini tidak ada yang ringan, konsekuensinya sama-sama berat.
Jika parlemen kembali menolak revisi proposal Brexit, maka ketidakpastian akan menyelimuti pasar keuangan dunia. Pelaku pasar akan memilih bermain aman, dan ini tentu bukan berita baik buat rupiah.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional Indonesia pada akhir pekan depan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan neraca perdagangan Februari 2019 bisa berbalik surplus setelah mencatat defisit US$ 1,16 miliar pada bulan sebelumnya.
Bila neraca perdagangan benar-benar surplus, maka akan menjadi sentimen positif buat rupiah. Surplus neraca perdagangan artinya lebih banyak devisa yang masuk ketimbang yang keluar, sehingga rupiah punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.
Sentimen keempat, juga dari dalam negeri, adalah depresiasi rupiah yang sudah cukup dalam akhir-akhir ini membuka peluang bagi technical rebound. Rupiah yang sudah melemah 2,44% sejak 26 Februari membuat mata uang Tanah Air menjadi menarik. Harga rupiah yang sudah murah bisa memancing minat investor untuk kembali mengoleksinya.
Oleh karena itu, masih ada harapan bahwa tren pelemahan rupiah saat ini hanya fenomena temporer. Sebab di ujung setiap badai pasti akan ada pelangi.
At the end of the storm, there's a golden sky. And the sweet silver song of the lark...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Pada Jumat (8/3/2019) pukul 14:00 WIB, US$ 1 ditransaksikan Rp 14.320. Rupiah melemah 1,31% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sebelum libur Hari Raya Nyepi.
Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah. Pada pukul 14:49 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.330 di mana rupiah melemah 1,38%.
Rupiah pun masih menyandang status sebagai mata uang terlemah di Asia. Bahkan jarak depresiasi rupiah dengan mata uang lain begitu lebar.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 14:49 WIB:
Akhir-akhir ini, performa rupiah memang mengecewakan. Jika hari ini ditutup melemah, maka rupiah akan terdepresiasi 6 kali dalam 7 hari perdagangan terakhir.
Sampai kapan rupiah akan seperti ini terus? Apa yang bisa menjadi harapan bagi rupiah?
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pekan depan ada beberapa sentimen yang bisa menggerakkan rupiah. Dari sisi eksternal, sepertinya pasar keuangan global akan merespons rilis data ketenagakerjaan AS yang akan dirilis dini hari nanti waktu Indonesia.
Mengutip konsensus yang dihimpun Reuters, penciptaan lapangan kerja di AS pada Februari 2019 diperkirakan 180.000. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 304.000.
Jadi walau kemungkinan penciptaan lapangan kerja di bawah 304.000 tetapi lebih dari atau sama dengan 180.000, maka bisa menjadi sentimen positif bagi dolar AS. Belum lagi jika angka pengangguran Februari ternyata sesuai ekspektasi yaitu 3,9% atau turun dari bulan sebelumnya yang sebesar 4%.
Apabila data ketenagakerjaan AS sesuai atau melampaui ekspektasi, maka semakin membuka kemungkinan bagi The Federal Reserves/The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan. Sebab, perbaikan di pasar tenaga kerja menjadi syarat bagi The Fed untuk menaikkan suku bunga acuan, selain inflasi.
Sepertinya inflasi AS juga masih kuat, yang akan dibuktikan melalui rilis data penjualan ritel pada awal pekan. Konsensus yang dihimpun Reuters memperkirakan penjualan ritel di Negeri Paman Sam pada Januari 2019 tumbuh 0,1% dibandingkan bulan sebelumnya. Membaik ketimbang pencapaian Desember 2018 yang turun 1,2% secara bulanan.
"Tujuan dari kebijakan kami saat ini adalah menjaga kemajuan yang telah dicapai untuk menuju penciptaan tenaga kerja yang maksimal dan inflasi yang sesuai dengan target," kata Lael Brainard, Anggota Dewan Gubernur The Fed, dikutip dari Reuters.
Akibatnya, data ini bisa menjadi suntikan adrenalin bagi dolar AS bila hasilnya memuaskan. Rupiah pun bisa mengalami tekanan lebih lanjut.
(BERLANJUT KE HALAMAN 3)
Sentimen kedua adalah perkembangan Brexit di Inggris. Parlemen Inggris berencana menggelar pemungutan suara untuk menentukan menerima atau menolak proposal Brexit yang sudah direvisi oleh Perdana Menteri Theresa May.
Apabila nasib proposal ini sama seperti pendahulunya, yaitu ditolak, maka parlemen Negeri Ratu Elizabeth akan kembali mengadakan voting untuk memutuskan apakah menunda pelaksanaan Brexit yang dijadwalkan pada 29 Maret atau bercerai dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa (No Deal Brexit). Dua pilihan ini tidak ada yang ringan, konsekuensinya sama-sama berat.
Jika parlemen kembali menolak revisi proposal Brexit, maka ketidakpastian akan menyelimuti pasar keuangan dunia. Pelaku pasar akan memilih bermain aman, dan ini tentu bukan berita baik buat rupiah.
Sentimen ketiga, kali ini dari dalam negeri, adalah rilis data perdagangan internasional Indonesia pada akhir pekan depan. Bank Indonesia (BI) memperkirakan neraca perdagangan Februari 2019 bisa berbalik surplus setelah mencatat defisit US$ 1,16 miliar pada bulan sebelumnya.
Bila neraca perdagangan benar-benar surplus, maka akan menjadi sentimen positif buat rupiah. Surplus neraca perdagangan artinya lebih banyak devisa yang masuk ketimbang yang keluar, sehingga rupiah punya pijakan yang kuat untuk terapresiasi.
Sentimen keempat, juga dari dalam negeri, adalah depresiasi rupiah yang sudah cukup dalam akhir-akhir ini membuka peluang bagi technical rebound. Rupiah yang sudah melemah 2,44% sejak 26 Februari membuat mata uang Tanah Air menjadi menarik. Harga rupiah yang sudah murah bisa memancing minat investor untuk kembali mengoleksinya.
Oleh karena itu, masih ada harapan bahwa tren pelemahan rupiah saat ini hanya fenomena temporer. Sebab di ujung setiap badai pasti akan ada pelangi.
At the end of the storm, there's a golden sky. And the sweet silver song of the lark...
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular