
Harga Karet Loyo, Ini Curahan Hati Petani Karet
Yanurisa Ananta, CNBC Indonesia
05 March 2019 18:41

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis data Nilai Tukar Petani (NTP) periode Februari 2019, pekan lalu. Pada bulan ini tercatat keseluruhan NTP mengalami penurunan sebesar 0,37% dari 103,33 (Januari 2019) menjadi 102,92. Ini mengindikasikan terjadi penurunan tingkat kesejahteraan pada petani.
Zaenuri (39 tahun), seorang petani karet di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan mengaku tiga bulan terakhir jumlah produksi karet mengalami penurunan dari biasanya 35 ton per minggu menjadi 26-27 ton per minggu. Zaenuri menambahkan, 35 ton dihasilkan per minggu dari perkebunan karet seluas sekitar 500 ha. Faktor cuaca menjadi alasan penurunan produksi.
"Kalau untuk sekarang ini mungkin jumlah produksinya mengalami penurunan karena cuaca. Cuacanya kan lagi musim penghujan," kata Zaenuri melalui sambungan telepon kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Di saat yang sama, perbandingan harga jual dan biaya operasional yang dikeluarkan tidak seimbang. Untuk sekali melakukan penyadapan karet satu orang membutuhkan biaya Rp10 ribu-Rp20 ribu untuk biaya minyak.
Di perkebunannya yang seluas 5 hektare, Zaenuri mengaku memiliki tiga orang pekerja. Artinya, setiap bulannya Zaenuri mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp1,8 juta untuk biaya penyadapan. Sementara, di pasaran harga karet satu kilogram dihargai Rp6.000-Rp9.000.
"Untuk urusan harga jual ini masih belum stabil untuk produksinya itu kan biasanya petani itu untuk sekali nyadap kan butuh minyak (sekali motong). Harga sekarang di bawah Rp10.000 per kg," imbuh Zaenuri.
Kondisi ketidakstabilan harga ini sudah terjadi bertahun-tahun, kata Zaenuri. Akibatnya sudah lama petani karet mengeluh namun tidak bisa meninggalkan pekerjaan petani karet lantaran tidak ada pilihan lain.
Zaenuri dan teman-teman juga tidak tahu menahu mengapa harga karet bisa sedemikian turun. Akibatnya, keuntungan yang didapat petani karet pun semakin menipis.
Dengan asumsi produksi karet satu bulan sebanyak 4 kuintal, dipotong biaya operasional untuk pemupukan dan penyadapan maka keuntungan paling besar yang didapat sekitar 10%-11%.
"Kalau dulu per kilonya mencapai Rp15 ribu-Rp20 ribu. Tahun 2010-2011 itu masih di atas Rp10 ribu. Harga karet sudah di atas Rp10 ribu sedikit saja kami sudah senang, enggak muluk-muluk," tandas Zaenuri.
NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat.
Simak video terkait harga karet di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Live Now! BPS Umumkan Pertumbuhan Ekonomi Q3-2019
Zaenuri (39 tahun), seorang petani karet di Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan mengaku tiga bulan terakhir jumlah produksi karet mengalami penurunan dari biasanya 35 ton per minggu menjadi 26-27 ton per minggu. Zaenuri menambahkan, 35 ton dihasilkan per minggu dari perkebunan karet seluas sekitar 500 ha. Faktor cuaca menjadi alasan penurunan produksi.
"Kalau untuk sekarang ini mungkin jumlah produksinya mengalami penurunan karena cuaca. Cuacanya kan lagi musim penghujan," kata Zaenuri melalui sambungan telepon kepada CNBC Indonesia di Jakarta, Selasa (5/3/2019).
Di saat yang sama, perbandingan harga jual dan biaya operasional yang dikeluarkan tidak seimbang. Untuk sekali melakukan penyadapan karet satu orang membutuhkan biaya Rp10 ribu-Rp20 ribu untuk biaya minyak.
Di perkebunannya yang seluas 5 hektare, Zaenuri mengaku memiliki tiga orang pekerja. Artinya, setiap bulannya Zaenuri mengeluarkan biaya operasional sekitar Rp1,8 juta untuk biaya penyadapan. Sementara, di pasaran harga karet satu kilogram dihargai Rp6.000-Rp9.000.
"Untuk urusan harga jual ini masih belum stabil untuk produksinya itu kan biasanya petani itu untuk sekali nyadap kan butuh minyak (sekali motong). Harga sekarang di bawah Rp10.000 per kg," imbuh Zaenuri.
Kondisi ketidakstabilan harga ini sudah terjadi bertahun-tahun, kata Zaenuri. Akibatnya sudah lama petani karet mengeluh namun tidak bisa meninggalkan pekerjaan petani karet lantaran tidak ada pilihan lain.
![]() |
Zaenuri dan teman-teman juga tidak tahu menahu mengapa harga karet bisa sedemikian turun. Akibatnya, keuntungan yang didapat petani karet pun semakin menipis.
Dengan asumsi produksi karet satu bulan sebanyak 4 kuintal, dipotong biaya operasional untuk pemupukan dan penyadapan maka keuntungan paling besar yang didapat sekitar 10%-11%.
"Kalau dulu per kilonya mencapai Rp15 ribu-Rp20 ribu. Tahun 2010-2011 itu masih di atas Rp10 ribu. Harga karet sudah di atas Rp10 ribu sedikit saja kami sudah senang, enggak muluk-muluk," tandas Zaenuri.
NTP adalah angka perbandingan antar Indeks Harga yang Diterima Petani (IT), dengan Indeks Harga yang Dibayar Petani (IB) dan dinyatakan dalam persentase. Bila angka NTP lebih besar dari 100, maka kondisi petani sedang mengalami surplus. Sedangkan bila kurang dari 100 artinya petani mengalami defisit.
Salah satu kegunaan NTP adalah untuk mengukur tingkat kesejahteraan petani. Semakin besar surplusnya, maka kesejahteraan petani juga meningkat.
Simak video terkait harga karet di bawah ini.
[Gambas:Video CNBC]
(miq/miq) Next Article Live Now! BPS Umumkan Pertumbuhan Ekonomi Q3-2019
Most Popular