Rupiah Terlemah Kedua di Asia, Tapi Harapan Masih Ada!

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 March 2019 12:39
Ada Peluang, Tapi Juga Ada Tantangan Buat Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Investor kembali bergairah dan masuk ke pasar keuangan Asia setelah tersiar kabar hubungan AS-China yang kembali mesra. Mengutip Wall Street Journal, beberapa sumber di lingkaran dalam pemerintah China mengungkapkan bahwa Beijing bersedia untuk menurunkan bea masuk dan mengurangi hambatan untuk masuknya produk-produk pertanian, farmasi, otomotif, dan lain-lain asal AS.

Selain itu, para sumber tersebut juga menyebutkan bahwa kesepakatan dagang AS-China akan ditandatangani pada 27 Maret. Sebagai bagian dari kesepakatan dagang, China berkomitmen untuk membeli gas alam senilai US$ 18 miliar dari Cheniere Energy yang berbasis di Houston, Texas.

Sikap China ini merupakan ‘balas budi’ terhadap kebijakan AS yang menunda kenaikan tarif bea masuk terhadap importasi produk China senilai US$ 200 miliar dari 10% menjadi 25%. Penundaan ini akan dituangkan dalam peraturan pemerintah yang terbit pada Kamis pekan ini waktu Washington.

“Kenaikan tarif tidak lagi layak untuk diterapkan mengingat perkembangan negosiasi yang berjalan sejak Desember 2018. Tarif akan tetap 10% sampai ada pemberitahuan selanjutnya,” sebut keterangan tertulis kantor Perwakilan Dagang AS, mengutip Reuters.

Perkembangan ini membuat asa damai dagang AS-China kembali merekah. Damai dagang AS-China akan membawa kemakmuran bagi dunia, karena membuat arus perdagangan dan rantai pasok kembali semarak. Pertumbuhan ekonomi global pun bisa lebih baik.

Jika antusiasme ini bertahan, maka bisa menjadi kabar baik bagi rupiah. Masih ada kemungkinan bagi rupiah yang masih ketinggalan kereta untuk berbalik arah ke teritori apresiasi.

Namun, perlu dicatat rupiah masih terbeban oleh harga minyak. Pada pukul 12:26 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet masing-masing naik 0,37% dan 0,43%.

Kenaikan harga minyak bukan berita bahagia buat rupiah. Indonesia adalah negara net importir minyak. Untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri, Indonesia mau tidak mau harus mengimpor karena produksi tidak mencukupi.

Saat harga minyak mahal, tentu akan semakin membebani neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account). Padahal current account adalah fondasi penting bagi nilai tukar, karena mencerminkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa yang lebih jangka panjang ketimbang portofolio di sektor keuangan (hot money) yang bisa datang dan pergi dalam hitungan detik.

Dibayangi risiko pembengkakan defisit transaksi berjalan, prospek rupiah pun suram. Investor tentunya agak malas memegang aset yang nilainya berisiko turun.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular