The Fed Kalem, Inflasi 'Santai', Surat Utang RI Laris Manis

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 March 2019 12:29
The Fed Kalem, Inflasi 'Santai', Surat Utang RI Laris Manis
Ilustrasi Data Obligasi (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi pemerintah Indonesia terlihat bergairah pada pekan ini. Sikap bank sental Amerika Serikat (The Federal Reserves/The Fed) yang semakin kalem membuat instrumen berpendapatan tetap di negara berkembang kebanjiran peminat, termasuk di Indonesia. 

Pada pekan ini, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah berbagai tenor kompak turun. Artinya, harga instrumen ini sedang naik karena tingginya minat pelaku pasar. 



Dalam lelang obligasi pekan ini, terlihat bahwa investor begitu bernafsu memburu surat utang yang diterbitkan pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Pada Selasa pekan ini, pemerintah melelang enam seri obligasi dan penawaran yang masuk mencapai Rp 93,93 triliun. Ini merupakan rekor tertinggi sepanjang sejarah penerbitan obligasi pemerintah Indonesia. 


Antusiasme investor terhadap obligasi pemerintah Indonesia sepertinya merupakan respons dari arah kebijakan The Fed yang kurang agresif pada tahun ini. Beberapa kali pejabat teras The Fed mengeluarkan pernyataan bernada kalem alias dovish. 

Terakhir, adalah Wakil Gubernur The Fed Richard Clarida yang menyatakan bahwa bank sentral akan tetap bersabar untuk menentukan arah kebijakan suku bunga acuan ke depan. Pasalnya, data-data ekonomi di Negeri Paman Sam terus diliputi aura negatif. 

Data terbaru adalah konsumsi individu (personal spending) yang pada Desember 2018 turun 0,5% dibandingkan bulan sebelumnya. Ini menjadi penurunan terdalam sejak September 2009. 

Kemudian angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur versi ISM untuk Februari 2019 ada di 54,2. Turun dibandingkan bulan sebelumnya yang sebesar 56,6. Angka di atas 50 menunjukkan dunia usaha masih optimistis, tetapi optimisme mereka melambat. 

Lalu angka PMI manufaktur versi IHS Markit untuk Februari adalah 53. Juga turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 54,9. 

"Kita harus menyeimbangkan antara proyeksi ke depan dengan kemungkinan bahwa model yang kita gunakan mungkin ada kesalahan. Dengan inflasi yang masih rendah dan stabilnya ekspektasi inflasi, maka saya meyakini kami masih bisa bersabar sembari menanti berbagai data yang akan masuk," papar Clarida, mengutip Reuters.  


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pernyataan Clarida semakin menegaskan bahwa peluang kenaikan suku bunga acuan semakin kecil, setidaknya dalam waktu dekat. Jadi, berinvestasi di instrumen berbasis dolar AS (terutama di aset berpendapatan tetap seperti obligasi yang sensitif terhadap suku bunga) menjadi kurang menarik. 

Aliran modal asing pun bergerak ke luar AS, beterbangan ke berbagai penjuru dan ada yang hinggap ke Indonesia. Sejak awal tahun hingga 27 Februari, kepemilikan asing di obligasi pemerintah bertambah Rp 41,63 triliun. Dalam periode yang sama tahun lalu, kepemilikan asing 'hanya' bertambah Rp 11,05 triliun. 

Selain faktor eksternal tersebut, semaraknya pasar obligasi juga dipengaruhi oleh laju inflasi Indonesia yang masih 'santai'. Pada Februari 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat terjadi deflasi 0,08% secara month-to-month (MtM) dan 2,57% year-on-year (YoY). 

Inflasi tahunan bahkan mencatat rekor terendah sejak November 2009, atau nyaris 10 tahun lalu. Sejak pertengahan 2017, inflasi relatif stabil di kisaran 3% dan saat ini bahkan kurang dari itu.





Dengan tekanan inflasi yang minim, cuan yang didapat dari obligasi juga lebih optimal. Sebab, keuntungan (gain) tidak tergerus oleh inflasi sehingga keuntungan riil tetap atraktif.   


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular