Deflasi Tak Mampu Tolong Rupiah, Masih Terlemah di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
01 March 2019 09:42
Deflasi Tak Mampu Tolong Rupiah, Masih Terlemah di Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih melemah di perdagangan pasar spot. Rilis data inflasi Februari 2019 ternyata belum mampu menyelamatkan mata uang Tanah Air. 

Pada Jumat (1/3.2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dibanderol Rp 14.105. Rupiah melemah 0,32% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.  

Seiring perjalanan, rupiah semakin melemah. Pada pukul 09:34 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.110 di mana rupiah melemah 0,36%. 

Kala pembukaan pasar, rupiah melemah 0,26%. Seiring perjalanan pasar, depresiasi rupiah semakin dalam dan dolar AS kembali menembus level Rp 14.100. 


Nasib rupiah tidak membaik meski Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data inflasi yang sebetulnya menggembirakan. Pada Februari, terjadi deflasi 0,08% secara month-to-month (MtM) dan 2,57% year-on-year (YoY). Deflasi bulanan ini menjadi yang terdalam sejak Februari 2016.


Realisasi ini sedikit lebih baik dibandingkan konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia, yang memperkirakan terjadi deflasi 0,05% MtM dan inflasi 2,62% YoY.
 

Sejatinya data ini bisa menjadi alasan bagi rupiah untuk bangkit. Inflasi yang rendah dan stabil positif bagi mata uang karena nilainya tidak terlalu tergerus oleh inflasi. 

Indonesia juga bukan negara maju seperti Eropa atau Jepang yang mendambakan inflasi. Sebagai negara berkembang, inflasi sudah menjadi khittah Indonesia sehingga yang paling penting adalah menjaga inflasi tetap rendah dan stabil. 

Dalam beberapa tahun terakhir, inflasi sudah relatif rendah dan stabil di kisaran 3% bahkan kini sudah di bawah itu. Artinya ada aktivitas ekonomi yang sehat di mana dunia usaha masih bisa menaikkan harga tetapi tidak terlalu tinggi sehingga beban di konsumen pun tidak signifikan. 

Akan tetapi, sepertinya sentimen eksternal lebih kuat sehingga rupiah tertahan di zona merah. Investor masih cenderung bermain aman karena tingginya risiko perekonomian global. 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Pertumbuhan ekonomi Brasil pada 2018 tercatat 1,1%, sama seperti 2017. Sementara pada kuartal IV-2018, ekonomi Negeri Samba tumbuh 1,1% YoY, melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 1,3% YoY. 

Kemudian pertumbuhan ekonomi India pada kuartal IV-2018 adalah 6,6%, laju paling lambat dalam lima kuartal terakhir. Angka ini juga di bawah ekspektasi pasar yang memperkirakan 6,9%, juga di bawah target pemerintah 7%. 

Lalu di China, angka Purchasing Managers Index (PMI) manufaktur pada Februari adalah 49,2. Angka di bawah 50 menunjukkan aktivitas manufaktur mengalami kontraksi. Ini menjadi kontraksi selama 3 bulan berturut-turut. 

Suasana ekonomi global yang gloomy membuat pelaku pasar enggan mengambil risiko dan memilih bermain aman. Apalagi ada kabar kurang sedap dari perkembangan hubungan dagang AS-China.  

Robert Lighthizer, Kepala Perwakilan Dagang AS, menyatakan damai dagang tidak bisa dicapai dari sebuah perundingan. Masih ada masalah struktural di China yang bisa membuat AS ragu untuk berdamai, seperti pemaksaan transfer teknologi terhadap perusahaan asing yang beroperasi di China atau manipulasi kurs untuk mendongrak kinerja ekspor. 

Oleh karena itu, Lighthizer masih membuka kemungkinan untuk menerapkan kenaikan bea masuk terhadap impor produk-produk made in China. Risiko kembali berkobarnya perang dagang tidak bisa dikesampingkan. 


Ini tentunya menambah beban pikiran pelaku pasar. Daripada agresif mengambil risiko, lebih baik bermain aman dengan mengoleksi dolar AS. Pada pukul 09:33 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) menguat 0,12%. 

Akibatnya tidak hanya rupiah, berbagai mata uang Asia juga melemah. Namun dengan depresiasi 0,36%, rupiah masih menjadi mata uang terlemah di Benua Kuning. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 09:35 WIB:   




TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular