
Dolar AS Mulai Bangkit, Rupiah Masih Tertolong Harga Minyak
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
26 February 2019 09:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun rupiah perlu waspada karena penguatannya terus menipis dan mata uang Asia kini berbalik melemah di hadapan greenback.
Pada Selasa (26/2/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.995. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, posisi rupiah agak membaik. Pada pukul 09:16 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 13.990 di mana rupiah menguat 0,18%.
Meski masih menguat, tetapi apresiasi rupiah terus terkikis. Kala pembukaan pasar, penguatan rupiah nyaris mencapai 0,4%.
Selain itu, rupiah juga perlu hati-hati karena dolar AS sepertinya mulai memasuki fase technical rebound. Setelah tertekan sejak awal pekan, dolar AS memang menjadi punya kesempatan lebih besar untuk berbalik menguat.
Pada pukul 09:05 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat tipis 0,01%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini masih terkoreksi 0,11% sehingga ada ruang untuk terangkat.
Kebangkitan dolar AS membuat mayoritas mata uang utama Asia kini melemah. Bahkan yuan China yang sempat tidak terkalahkan pun kini menghuni zona merah. Tampaknya penguatan mata uang Asia yang lumayan tajam dalam beberapa waktu terakhir menggoda investor untuk melakukan ambil untung, dan terjadilah tekanan jual.
Penguatan rupiah yang menipis membuat mata uang Tanah Air belum beranjak dari posisi runner-up di klasemen mata uang Asia. Kini bukan yuan yang berada di posisi puncak, melainkan yen Jepang.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:16 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Setelah kemarin investor terhanyut dalam euforia damai dagang AS-China, bisa jadi sentimen itu mulai luntur. Sebab memang cenderung tidak ada kabar baru dari perkembangan hubungan Washington-Beijing.
Mungkin investor menunggu sampai Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu untuk mengesahkan dokumen kesepakatan dagang. Sepertinya pertemuan ini baru berlangsung bulan depan, sehingga pelaku pasar memilih menunggu.
Sembari menunggu, apesnya, investor terpancing untuk melakukan profit taking terhadap aset-aset di pasar keuangan Asia. Jadi tidak hanya di pasar valas, bursa saham Asia pun didominasi warna merah. Pada pukul 09:19 WIB, indeks Hang Seng melemah 0,38%, Kospi minus 0,04%, Straits Times terkoreksi 0,54%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang 0,08%.
Sepertinya rupiah masih bisa menguat karena tertolong harga minyak. Dini hari tadi, harga si emas hitam sempat anjlok di kisaran 3% dan kini masih melemah meski tidak sedalam itu.
Pada pukul 09:21 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melemah masing-masing 0,31% dan 0,52%. Secara mingguan, harga brent dan light sweet berkurang masing-masing 2,28% dan 1,13%.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.
Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (26/2/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 13.995. Rupiah menguat 0,14% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Seiring perjalanan pasar, posisi rupiah agak membaik. Pada pukul 09:16 WIB, US$ 1 sama dengan Rp 13.990 di mana rupiah menguat 0,18%.
Selain itu, rupiah juga perlu hati-hati karena dolar AS sepertinya mulai memasuki fase technical rebound. Setelah tertekan sejak awal pekan, dolar AS memang menjadi punya kesempatan lebih besar untuk berbalik menguat.
Pada pukul 09:05 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) sudah menguat tipis 0,01%. Dalam sepekan terakhir, indeks ini masih terkoreksi 0,11% sehingga ada ruang untuk terangkat.
Kebangkitan dolar AS membuat mayoritas mata uang utama Asia kini melemah. Bahkan yuan China yang sempat tidak terkalahkan pun kini menghuni zona merah. Tampaknya penguatan mata uang Asia yang lumayan tajam dalam beberapa waktu terakhir menggoda investor untuk melakukan ambil untung, dan terjadilah tekanan jual.
Penguatan rupiah yang menipis membuat mata uang Tanah Air belum beranjak dari posisi runner-up di klasemen mata uang Asia. Kini bukan yuan yang berada di posisi puncak, melainkan yen Jepang.
Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:16 WIB:
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Setelah kemarin investor terhanyut dalam euforia damai dagang AS-China, bisa jadi sentimen itu mulai luntur. Sebab memang cenderung tidak ada kabar baru dari perkembangan hubungan Washington-Beijing.
Mungkin investor menunggu sampai Presiden AS Donald Trump dan Presiden China Xi Jinping bertemu untuk mengesahkan dokumen kesepakatan dagang. Sepertinya pertemuan ini baru berlangsung bulan depan, sehingga pelaku pasar memilih menunggu.
Sembari menunggu, apesnya, investor terpancing untuk melakukan profit taking terhadap aset-aset di pasar keuangan Asia. Jadi tidak hanya di pasar valas, bursa saham Asia pun didominasi warna merah. Pada pukul 09:19 WIB, indeks Hang Seng melemah 0,38%, Kospi minus 0,04%, Straits Times terkoreksi 0,54%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) berkurang 0,08%.
Sepertinya rupiah masih bisa menguat karena tertolong harga minyak. Dini hari tadi, harga si emas hitam sempat anjlok di kisaran 3% dan kini masih melemah meski tidak sedalam itu.
Pada pukul 09:21 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet melemah masing-masing 0,31% dan 0,52%. Secara mingguan, harga brent dan light sweet berkurang masing-masing 2,28% dan 1,13%.
Penurunan harga minyak akan membuat biaya impor komoditas ini menjadi lebih murah. Sesuatu yang tentu menguntungkan bagi negara net importir minyak seperti Indonesia.
Artinya, devisa yang 'terbakar' untuk impor minyak dan produk-produk turunannya juga akan lebih sedikit. Ini membuat rupiah memiliki modal yang lebih besar sehingga berpeluang untuk menguat.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular