Rupiah Sekarang Terlemah di Asia, Kok Bisa?

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 February 2019 09:25
Rupiah Sekarang Terlemah di Asia, <i>Kok</i> Bisa?
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) terus melemah di perdagangan pasar spot hari ini. Bahkan kini rupiah sudah menjadi mata uang terlemah di Asia. 

Pada Jumat (22/2/2019) pukul 09:00 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.075. Rupiah melemah 0,12% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Seiring perjalanan pasar, rupiah semakin melemah. Pada pukul 09:04 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.080 di mana rupiah melemah 0,16%. 


Dolar AS memang sedang perkasa, menguat terhadap hampir seluruh mata uang utama Asia. Hanya tersisa peso Filipina yang masih mampu menguat, yang lain tidak selamat. 

Namun dengan pelemahan 0,16%, rupiah sah menjadi mata uang terlemah di Asia. Untuk urusan melemah di hadapan dolar AS, rupiah adalah juaranya. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:06 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Dolar AS menjadi pilihan utama investor yang sedang harap-harap cemas menunggu hasil dialog dagang AS-China di Washington. Memang sudah tersiar kabar bahwa kedua pihak menyepakati nota kesepahaman (Memorandum of Understanding/MoU) yang secara garis besar mencakup perlindungan terhadap kekayaan intelektual, perluasan investasi sektor jasa, transfer teknologi, pertanian, nilai tukar, dan halangan non-tarif (non-tariff barrier) di bidang perdagangan. 


Namun ternyata perundingan tidak selamanya berjalan mulus. Sumber Reuters menyatakan Washington dan Beijing masih belum sepakat mengenai detil MoU tersebut.  

"Tidak mengejutkan kalau detil dari MoU akan menjadi tantangan. Begitu Anda selesai dengan gambaran besar dan beralih ke hal-hal kecil, memang di situlah tantangannya," sebut sang sumber. 

Oleh karena itu, wajar apabila investor masih cemas menantikan hasil yang sesungguhnya dari dialog di Washington. Kecemasan itu membuat pelaku pasar memilih bermain aman, dan tujuan paling masuk akal adalah dolar AS. 


Selain itu, bisa jadi investor masih terbawa suasana dari hasil Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) kemarin. Gubernur Perry Warjiyo dal sejawat memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di angka 6%, sama seperti ekspektasi pasar. 

Namun, sepertinya pasar mencermati komentar-komentar mengenai arah kebijakan moneter ke depan. Untuk bulan ini, BI sudah benar-benar meninggalkan kata hawkish dalam keterangan tertulis maupun pernyataan dalam konferensi pers. 

"Mengendalikan defisit transaksi berjalan dan menaikkan surplus neraca modal, itu akan memperkuat stabilitas eksternal. Stance (posisi) kami ke sana untuk kebijakan suku bunga. Masih diprioritaskan untuk menjaga stabilitas eksternal," kata Perry dalam konferensi pers usai RDG, kemarin. 


Padahal bulan-bulan sebelumnya kata-kata seperti hawkish, preemtif, front loading, dan ahead the curve sering keluar dan seolah menjadi mantra. Pasar mengartikan BI akan agresif dan melanjutkan kebijakan moneter yang cenderung ketat. 

Namun bulan ini mantra-mantra itu sudah tidak ada lagi. Ada kemungkinan pelaku pasar melihat peluang pengetatan moneter oleh BI semakin tipis. Peluang kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate kian mengecil. 

Meski Perry menyatakan daya tarik aset keuangan Indonesia tetap tinggi, tetapi tanpa kenaikan suku bunga acuan rasanya ada yang hambar. Kurang pemanis. 

Oleh karena itu, rupiah mengalami tekanan jual. Depresiasi mata uang Tanah Air pun semakin dalam.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular