AS-China Dekati Kesepakatan Dagang, IHSG Naik Tipis 0,07%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 February 2019 13:17
AS-China Dekati Kesepakatan Dagang, IHSG Naik Tipis 0,07%
Foto: Kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand di Bursa Efek Indonesia, Senin (18/2/2019). kompetisi jual beli saham Oppo Stocks in Your Hand (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Dibuka melemah tipis 0,03% dan sempat jatuh hingga 0,21%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengakhiri sesi 1 dengan penguatan sebesar 0,07% ke level 6.517,04.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam mendorong IHSG naik di antaranya: PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (+5,22%), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (+1,41%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+0,18%), PT Smartfren Telecom Tbk/FREN (+3,52%), dan PT Industri Jamu dan Farmasi Sido Tbk/SIDO (+6,52%).

Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan menguat: indeks Nikkei naik 0,43%, indeks Shanghai naik 0,36%, indeks Hang Seng naik 0,53%, indeks Straits Times naik 0,1%, dan indeks Kospi naik 0,05%.

Pada pagi hari, bursa saham regional kompak dibuka melemah. Namun, situasi berbalik pasca AS dan China dikabarkan kian dekat dalam mencapai kesepakatan dagang. Reuters memberitakan bahwa AS dan China sudah mulai menyusun nota kesepahaman untuk mengakhiri perang dagang yang sudah berjalan selama 7 bulan.

Delegasi kedua negara kini menyusun sebanyak 6 nota kesepahaman yang mencakup berbagai isu yakni pemaksaaan transfer teknologi & pencurian kekayaan intelektual, hak kekayaan intelektual, sektor jasa, nilai tukar, agrikultur, dan halangan non-tarif (non-tariff barrier) di bidang perdagangan, menurut 2 orang sumber yang mengetahui masalah tersebut, seperti dilansir dari Reuters.

Kedua negara ingin mencapai kesepakatan paling lambat pada tanggal 1 Maret, yang merupakan tanggal berakhirnya periode gencatan senjata bidang perdagangan antara AS dan China. Jika kesepakatan tak juga dicapai dan Presiden AS Donald Trump memutuskan untuk tak memperpanjang periode gencatan senjata antar kedua negara, maka bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar akan dinaikkan menjadi 25% (dari yang saat ini 10%) mulai tanggal 2 Maret.

Sejauh ini, perekonomian kedua negara terlihat jelas sudah tersakiti oleh perang dagang yang berkecamuk. Jika kesepakatan dagang benar bisa dicapai dan seluruh bea masuk yang kini dibebankan dicabut, perekonomian AS dan China akan bisa dipacu untuk melaju lebih kencang. Pada akhirnya, kinerja perekonomian dunia akan ikut terkerek naik.
Namun, penguatan bursa saham kawasan Asia relatif terbatas lantaran ada rilis risalah dari pertemuan The Federal Reserve edisi Januari 2019 yang membingungkan. Di satu sisi, terungkap bahwa bank sentral AS tersebut akan bersabar dalam melanjutkan normalisasi tingkat suku bunga acuan.

"Para peserta rapat berpandangan bahwa laju inflasi umum dan inflasi inti yang lambat menjadi alasan untuk lebih bersabar. Komite Pengambil Kebijakan condong untuk memilih bersabar sambil melakukan observasi terhadap dampak kenaikan suku bunga yang ditempuh tahun lalu," sebut risalah rapat The Fed.

Namun di sisi lain, nada hawkish juga kental terasa dalam risalah tersebut. Ternyata, The Fed tak dovish-dovish amat.

"Banyak peserta rapat berpandangan bahwa menahan suku bunga acuan di tingkat yang sekarang untuk beberapa waktu bisa menimbulkan risiko. Oleh karena itu, jika ketidakpastian berkurang maka The Fed perlu meninjau kembali stance sabarnya,"

Dengan perlambatan ekonomi global yang kian terasa, tentu bukan menjadi kabar yang baik bagi bursa saham global jika The Fed kembali injak gas dan menaikkan suku bunga acuan pada tahun ini. Sebagai informasi, The Fed sudah mengerek naik suku bunga acuan sebanyak 4 kali pada tahun lalu (100 bps).

Berbicara mengenai perlambatan ekonomi global, bukti nyata kembali datang dari Jepang. Pada hari ini, pembacaan awal untuk data Nikkei Manufacturing PMI periode Februari diumumkan di level 48,5, lebih rendah dibandingkan konsensus yang sebesar 50,4, seperti dilansir dari Trading Economics.

Angka di bawah 50 menunjukkan bahwa aktivitas manufaktur Jepang mengalami kontraksi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya. Hingga akhir sesi 1, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 15 miliar di pasar reguler. Kabar bahwa AS dan China kian dekat dalam mencapai kesepakatan dagang dimanfaatkan oleh investor asing untuk berbelanja di pasar saham tanah air.

Di sisi lain, pergerakan rupiah sejatinya tak mendukung bagi investor asing untuk melakukan aksi beli di pasar saham. Hingga siang hari, rupiah melemah 0,11% di pasar spot ke level Rp 14.050/dolar AS. Stance dari The Fed yang ternyata tak dovish-dovish amat memberikan pukulan bagi rupiah.

5 besar saham yang dikoleksi investor asing di pasar reguler adalah: PT Perusahaan Gas Negara Tbk/PGAS (Rp 101,7 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 30,2 miliar), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 23,2 miliar), PT Adaro Energy Tbk/ADRO (Rp 8,5 miliar), dan PT Indo Tambangraya Megah Tbk/ITMG (Rp 6,8 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular