Di Pekan Penuh Cinta, IHSG Justru Anjlok 2,03%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
15 February 2019 18:35
Di Pekan Penuh Cinta, IHSG Justru Anjlok 2,03%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan yang penuh cinta tak berlaku bagi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Kala banyak orang merayakan hari Valentine yang jatuh pada 14 Februari, IHSG justru anjlok hingga 2,03% pada pekan ini.

Dari 5 hari perdagangan, IHSG hanya menguat 1 kali yakni pada hari Kamis (14/2/2019), itupun hanya sebesar 0,01%. Di luar itu, IHSG selalu membukukan pelemahan.

IHSG babak-belur dihajar sentimen dalam dan luar negeri. Dari sisi eksternal, potensi eskalasi perang dagang AS-China berhasil memukul mundur bursa saham tanah air. Presiden AS Donald Trump menegaskan dirinya tidak akan bertemu dengan Presiden China Xi Jinping sebelum 1 Maret yang merupakan tanggal berakhirnya periode gencatan senjata AS-China selama 90 hari.

Padahal sebelumnya, Trump pernah mengatakan dirinya akan bertemu dengan Xi, bahkan mungkin lebih dari sekali, untuk mengesahkan kesepakatan dagang AS-China. Rumor yang sebelumnya beredar mengatakan bahwa pertemuan akan digelar pada akhir Februari pasca Trump melakukan pertemuan dengan Pemimpin Korea Utara Kim Jong Un.

Memang, ada kabar positif kala Trump mengatakan bahwa dirinya terbuka untuk memperpanjang masa tenang tersebut jika kedua negara mendekati kesepakatan yang akan membuat China melakukan reformasi struktural atas kebijakan ekonomi dan perdagangannya.

Namun, semuanya menjadi buyar pasca negosiasi dagang tingkat menteri yang digelar di Beijing berakhir pada hari ini. Negosiasi yang sudah dimulai sejak kemarin ini melibatkan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin, dan Wakil Perdana Menteri China Liu He.

Mereka mengakhiri pembicaraan pada tengah hari di hari Jumat dan para delegasi berpisah tanpa mengumumkan apapun, seperti dilansir dari AFP.

Kisi-kisi terkait dengan hasil negosiasi dagang bisa didapat dari cuitan Mnuchin. Dirinya mengatakan bahwa negosiasi berlangsung dengan produktif.

"Pembicaraan yang produktif dengan Wakil Perdana Menteri China Liu He dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer." cuit Mnuchin melalui akun @stevenmnuchin1.

Namun tetap saja, tak jelasnya hasil pertemuan kedua negara membuat investor resah. Apalagi, pada hari Kamis Bloomberg melaporkan bahwa AS dan China nyaris tak mencapai progres apapun dalam negosiasi dagang yang digelar di Beijing, menurut orang-orang yang familiar dengan jalannya negosiasi dagang tersebut.

Dalam rapat tertutup yang digelar, kedua pihak gagal untuk menipiskan ketidaksepahaman terkait reformasi struktural yang diminta AS kepada China.

Perkembangan ini menimbulkan pertanyaan terkait dengan perpanjangan periode gencatan senjata. Jika Trump sampai tak puas dengan hasil negosiasi dagang, periode gencatan senjata menjadi sangat mungkin untuk tidak diperpanjang dan bea masuk bagi produk impor asal China senilai US$ 200 miliar akan dinaikkan menjadi 25% (dari yang saat ini 10%) mulai tanggal 2 Maret.

Jika ini yang terjadi, ada kemungkinan pihak China akan mengambil kebijakan balasan, membawa perang dagang ke suatu level baru yang semakin panas.
Dari dalam negeri, rilis data ekonomi membuat bursa saham menjadi bulan-bulanan investor. Sepanjang kuartal-IV 2018, defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) diumumkan senilai US$ 9,1 miliar atau 3,57% dari PDB, naik dari capaian kuartal-III 2018 yang sebesar 3,37% dari PDB. CAD pada kuartal-IV 2018 merupakan yang terparah sejak kuartal-II 2014.

Alhasil, rupiah membukukan pelemahan yang signifikan. Sepanjang pekan ini, rupiah melemah hingga 1,29% di pasar spot. Pelemahan rupiah pada akhirnya membuat investor berlarian dari pasar saham Indonesia.

Jika berbicara mengenai rupiah, transaksi berjalan memang merupakan hal yang sangat penting lantaran menggambarkan pasokan devisa yang tidak mudah berubah (dari aktivitas ekspor-impor barang dan jasa). Hal ini berbeda dengan pos transaksi modal dan finansial yang bisa cepat berubah karena datang dari aliran modal portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kemudian pada hari ini, Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan bahwa eskpor turun sebesar 4,7% YoY sepanjang Januari 2019, lebih dalam dari konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yakni penurunan sebesar 0,61% YoY. Sementara itu, impor terkoreksi 1,83% YoY, juga lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan koreksi sebesar 0,785% YoY.

Alhasil, defisit neraca dagang bulan Januari adalah senilai US$ 1,16 miliar, lebih dalam dari konsensus yang senilai US$ 925,5 juta. Defisit pada bulan Januari membengkak jika dibandingkan dengan defisit bulan Desember yang senilai US$ 1,03 miliar dan jika dibandingkan defisit Januari 2018 yang senilai US$ 756,02 juta.

Defisit neraca dagang periode Januari 2019 yang senilai US$ 1,16 miliar merupakan defisit bulan Januari yang terparah dalam setidaknya 12 tahun terakhir. Sebagai catatan, biasanya bulan Januari justru menghasilkan surplus. Dalam 12 tahun terakhir, hanya 4 kali neraca dagang membukukan defisit pada bulan Januari, sementara surplus tercatat sebanyak 8 kali.

Dengan defisit neraca dagang yang begitu dalam, ada kemungkinan bahwa CAD periode kuartal-I 2019 akan kembali bengkak. Seiring dengan pelemahan rupiah dan sentimen eksternal yang tak mendukung, investor asing berlarian keluar dari pasar saham tanah air. Selama 5 hari perdagangan minggu ini, tak sekalipun investor asing membukukan beli bersih.

Melansir publikasi Bursa Efek Indonesia (BEI), investor asing membukukan jual bersih senilai Rp 3,3 triliun pada pekan ini.

Melansir RTI, 5 besar saham yang paling banyak dilepas investor asing dalam seminggu terakhir adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (Rp 695,5 miliar), PT Astra International Tbk/ASII (Rp 690,4 miliar), PT United Tractors Tbk/UNTR (Rp 432,3 miliar), PT Bank Mandiri Tbk/BMRI (Rp 197,2 miliar), dan PT Telekomunikasi Indonesia Tbk/TLKM (Rp 175,3 miliar).

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular