
Dolar AS Nyaris Sentuh Rp 14.100, Rupiah Terlemah di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 February 2019 10:31

Terlihat bahwa sebenarnya mayoritas mata uang Asia mampu menguat terhadap dolar AS. Tidak hanya di Asia, dolar AS juga sebenarnya sedang melemah secara global.
Pada pukul 10:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,04%. Maklum, indeks ini sudah berlari kencang dengan kenaikan mencapai 1,1% dalam sebulan terakhir. Mungkin dolar AS perlu mengambil nafas barang sejenak.
Selain itu, data-data ekonomi Asia juga lumayan bagus. Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal IV-2018 tercatat 1,4% year-on-year (YoY). Ini menjadi catatan positif pertama dalam dua kuartal terakhir.
Data ini memberi harapan bahwa perekonomian Jepang masih bisa menggeliat. Jepang adalah perekonomian terbesar kedua di Asia, sehingga perbaikan di sana akan ikut mendorong pertumbuhan di negara-negara lainnya.
Di China, data perdagangan internasional periode Januari 2019 juga mencatatkan hasil yang lumayan oke. Ekspor tumbuh 9,1% YoY, lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan turun 3,2%. Sementara impor turun 1,5% YoY, penurunan yang lebih lambat ketimbang konsensus yang memperkirakan minus 10%.
Neraca perdagangan China pada Januari tercatat US$ 39,16 miliar, Angka ini juga lebih baik dibandingkan konsensus yaitu US$ 33,5 miliar.
Perkembangan ini menunjukkan perekonomian China masih punya kekuatan yang patut diperhitungkan. Meski ada perlambatan, tetapi sepertinya pertumbuhan ekonomi di Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalami hard landing.
Akan tetapi, sentimen positif itu seakan tidak berlaku buat rupiah. Pasalnya, mata uang Tanah Air terbeban oleh kenaikan harga minyak.
Pada pukul 10:17 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,35% dan 0,33%. Dalam sebulan terakhir, harga brent melesat 5,42% dan light sweet melompat 3,8%.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan kecemasan terhadap nasib transaksi berjalan Indonesia. Harga minyak yang semakin mahal akan membuat defisit transaksi berjalan semakin dalam, sehingga rupiah kehilangan keseimbangan karena fondasinya yang begitu rapuh.
Defisit transaksi berjalan sudah menjadi penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sebelum masalah ini selesai, rupiah memang akan selalu dihantui oleh risiko depresiasi karena fundamentalnya memang tidak mendukung penguatan.
Kemudian, rupiah juga rentan terkena ambil untung (profit taking) karena penguatannya sudah begitu tajam. Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 2,23% terhadap dolar AS di pasar spot.
Apresiasi yang begitu tajam ini membuat rupiah rawan terserang koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat cuan lumayan dari rupiah tentu tergoda untuk mencairkannya. Akibatnya, rupiah berisiko mengalami aksi jual.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada pukul 10:11 WIB, Dollar Index (yang mencerminkan posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,04%. Maklum, indeks ini sudah berlari kencang dengan kenaikan mencapai 1,1% dalam sebulan terakhir. Mungkin dolar AS perlu mengambil nafas barang sejenak.
Selain itu, data-data ekonomi Asia juga lumayan bagus. Pertumbuhan ekonomi Jepang pada kuartal IV-2018 tercatat 1,4% year-on-year (YoY). Ini menjadi catatan positif pertama dalam dua kuartal terakhir.
Di China, data perdagangan internasional periode Januari 2019 juga mencatatkan hasil yang lumayan oke. Ekspor tumbuh 9,1% YoY, lebih baik ketimbang konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan turun 3,2%. Sementara impor turun 1,5% YoY, penurunan yang lebih lambat ketimbang konsensus yang memperkirakan minus 10%.
Neraca perdagangan China pada Januari tercatat US$ 39,16 miliar, Angka ini juga lebih baik dibandingkan konsensus yaitu US$ 33,5 miliar.
Perkembangan ini menunjukkan perekonomian China masih punya kekuatan yang patut diperhitungkan. Meski ada perlambatan, tetapi sepertinya pertumbuhan ekonomi di Negeri Tirai Bambu tidak akan mengalami hard landing.
Akan tetapi, sentimen positif itu seakan tidak berlaku buat rupiah. Pasalnya, mata uang Tanah Air terbeban oleh kenaikan harga minyak.
Pada pukul 10:17 WIB, harga minyak jenis brent dan light sweet naik masing-masing 0,35% dan 0,33%. Dalam sebulan terakhir, harga brent melesat 5,42% dan light sweet melompat 3,8%.
Kenaikan harga minyak akan menimbulkan kecemasan terhadap nasib transaksi berjalan Indonesia. Harga minyak yang semakin mahal akan membuat defisit transaksi berjalan semakin dalam, sehingga rupiah kehilangan keseimbangan karena fondasinya yang begitu rapuh.
Defisit transaksi berjalan sudah menjadi penyakit menahun yang tidak kunjung sembuh. Sebelum masalah ini selesai, rupiah memang akan selalu dihantui oleh risiko depresiasi karena fundamentalnya memang tidak mendukung penguatan.
Kemudian, rupiah juga rentan terkena ambil untung (profit taking) karena penguatannya sudah begitu tajam. Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 2,23% terhadap dolar AS di pasar spot.
Apresiasi yang begitu tajam ini membuat rupiah rawan terserang koreksi teknikal. Investor yang merasa sudah mendapat cuan lumayan dari rupiah tentu tergoda untuk mencairkannya. Akibatnya, rupiah berisiko mengalami aksi jual.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular