
Dolar AS Endus Aroma Rp 14.000, Rupiah Terlemah Kedua di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
11 February 2019 09:18

Sepertinya penyebab utama depresiasi rupiah hari ini adalah rilis data Neraca Pembayaran Indonesia (NPI). Sejatinya data ini sudah keluar sebelum pembukaan pasar akhir pekan lalu, tetapi sepertinya investor tidak punya banyak waktu untuk mencerna.
Sekarang dengan waktu yang memadai, hasilnya adalah rupiah menjadi tertekan. Maklum, meski pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013.
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
Sedangkan secara tahunan, defisit transaksi berjalan masih di bawah 3% PDB tepatnya 2,98%. Namun ini juga menjadi catatan terburuk sejak 2014.
NPI yang defisit pada 2018 menandakan keseimbangan eksternal Indonesia agak limbung, karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk. Artinya, rupiah lebih banyak dilepas karena kebutuhan valas yang tinggi sementara yang masuk tidak memadai. Fundamental rupiah menjadi lebih rapuh dan rentan terkoreksi.
Apalagi kemudian PT Pertamina menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau harga BBM lebih murah maka konsumsinya tentu akan meningkat. Di sini kemudian timbul masalah, karena suka tidak suka pasti impor BBM bakal membengkak demi memenuhi permintaan masyarakat.
Hasilnya adalah neraca perdagangan Indonesia akan terancam, karena defisit di sisi migas kemungkinan semakin dalam. Masalah kemudian bisa merambat ke transaksi berjalan, yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa secara keseluruhan. Defisit transaksi berjalan yang terancam lebih parah karena pembengkakan impor BBM membuat rupiah rentan mengalami pelemahan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(aji/aji)
Sekarang dengan waktu yang memadai, hasilnya adalah rupiah menjadi tertekan. Maklum, meski pada kuartal IV-2018 NPI tercatat surplus US$ 5,42 miliar tetapi karena terus defisit pada 3 kuartal sebelumnya, NPI sepanjang 2018 tetap minus US$ 7,13 miliar. Defisit NPI pada 2018 menjadi yang terdalam sejak 2013.
Sementara defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada kuartal IV-2018 adalah 3,57% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Ini menjadi defisit terdalam sejak kuartal II-2014.
NPI yang defisit pada 2018 menandakan keseimbangan eksternal Indonesia agak limbung, karena devisa yang keluar lebih banyak ketimbang yang masuk. Artinya, rupiah lebih banyak dilepas karena kebutuhan valas yang tinggi sementara yang masuk tidak memadai. Fundamental rupiah menjadi lebih rapuh dan rentan terkoreksi.
Apalagi kemudian PT Pertamina menurunkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM). Kalau harga BBM lebih murah maka konsumsinya tentu akan meningkat. Di sini kemudian timbul masalah, karena suka tidak suka pasti impor BBM bakal membengkak demi memenuhi permintaan masyarakat.
Hasilnya adalah neraca perdagangan Indonesia akan terancam, karena defisit di sisi migas kemungkinan semakin dalam. Masalah kemudian bisa merambat ke transaksi berjalan, yang mencerminkan ekspor-impor barang dan jasa secara keseluruhan. Defisit transaksi berjalan yang terancam lebih parah karena pembengkakan impor BBM membuat rupiah rentan mengalami pelemahan.
(TIM RISET CNBC INDONESIA)
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular