
Rupiah Tak Lagi di Dasar Klasemen Mata Uang Asia, Berkat BI?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
04 February 2019 16:47

Rupiah cs di Asia memang tidak bisa melawan keperkasaan dolar AS. Tidak hanya di Asia, mata uang Negeri Paman Sam pun menguat secara global.
Pada pukul 16:20 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,11%. Perlahan tetapi pasti, Dollar Index nyaman di zona hijau.
Pijakan bagi penguatan dolar AS adalah rilis data ketenagakerjaan. Pada Januari 2019, penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam mencapai 304.000. Ini menjadi angka tertinggi sejak Februari tahun lalu dan jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan tambahan 165.000.
Perekonomian AS selalu berhasil menciptakan lapangan kerja tambahan dalam 100 bulan terakhir. Ini menggambarkan perekonomian AS tetap menggeliat, masih bisa tumbuh kuat meski memang ada perlambatan.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar kembali meyakini bahwa The Federal Reserves/The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan pada 2019, meski tidak seagresif tahun sebelumnya. Masih ada peluang Jerome 'Jay' Powell menaikkan suku bunga acuan setidaknya dua kali menuju target median 2,8% pada akhir tahun.
Dilandasi potensi kenaikan Federal Funds Rate, dolar AS menemukan kembali keperkasaannya. Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di dolar AS menguntungkan, karena ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Faktor lain yang menjadi beban bagi rupiah adalah harga minyak yang masih bergerak ke utara alias menguat. Pada pukul 16:22 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,65% dan light sweet bertambah 0,25%.
Secara mingguan, harga brent melonjak 5,22% sementara light sweet melesat 6,69%. Sementara dalam sebulan terakhir, harga brent melambung 9,99% dan light sweet meroket 14,32%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bagus buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal. Defisit di neraca migas bakal semakin melebar.
Kala defisit neraca migas memburuk, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin parah. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh karena minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Rupiah pun berisiko melemah.
Namun mengapa kemudian pelemahan rupiah menipis? Apa yang membuat rupiah membaik sementara mata uang Asia lainnya semakin terperosok?
Kemungkinan intervensi Bank Indonesia (BI) memainkan perannya. Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menyatakan bahwa bank sentral konsisten berada di pasar untuk melakukan stabilitasi.
"BI akan tetap konsisten berada di pasar untuk mengawal stabilitas rupiah, disertai upaya penguatan jalinan koordinasi dan komunikasi dengan otoritas lain dan perbankan," kata Nanang.
Sepertinya hari ini pun BI masih rajin 'bergerilya' di pasar. Akibatnya, depresiasi rupiah menipis dan rupiah mampu memperbaiki posisi di klasemen mata uang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada pukul 16:20 WIB, Dollar Index (yang menggambarkan posisi greenback secara relatif terhadap enam mata uang utama dunia) menguat 0,11%. Perlahan tetapi pasti, Dollar Index nyaman di zona hijau.
Pijakan bagi penguatan dolar AS adalah rilis data ketenagakerjaan. Pada Januari 2019, penciptaan lapangan kerja di Negeri Paman Sam mencapai 304.000. Ini menjadi angka tertinggi sejak Februari tahun lalu dan jauh di atas konsensus pasar yang dihimpun Reuters yang memperkirakan tambahan 165.000.
Perkembangan ini membuat pelaku pasar kembali meyakini bahwa The Federal Reserves/The Fed masih akan menaikkan suku bunga acuan pada 2019, meski tidak seagresif tahun sebelumnya. Masih ada peluang Jerome 'Jay' Powell menaikkan suku bunga acuan setidaknya dua kali menuju target median 2,8% pada akhir tahun.
Dilandasi potensi kenaikan Federal Funds Rate, dolar AS menemukan kembali keperkasaannya. Kenaikan suku bunga akan membuat berinvestasi di dolar AS menguntungkan, karena ekspektasi inflasi akan terjangkar sehingga nilai mata uang tidak tergerus.
Faktor lain yang menjadi beban bagi rupiah adalah harga minyak yang masih bergerak ke utara alias menguat. Pada pukul 16:22 WIB, harga minyak jenis brent naik 0,65% dan light sweet bertambah 0,25%.
Secara mingguan, harga brent melonjak 5,22% sementara light sweet melesat 6,69%. Sementara dalam sebulan terakhir, harga brent melambung 9,99% dan light sweet meroket 14,32%.
Kenaikan harga minyak bukan berita bagus buat rupiah. Sebab, kenaikan harga komoditas ini akan membuat biaya impornya semakin mahal. Defisit di neraca migas bakal semakin melebar.
Kala defisit neraca migas memburuk, maka neraca perdagangan dan transaksi berjalan (current account) akan semakin parah. Ini membuat fundamental penyokong rupiah menjadi rapuh karena minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Rupiah pun berisiko melemah.
Namun mengapa kemudian pelemahan rupiah menipis? Apa yang membuat rupiah membaik sementara mata uang Asia lainnya semakin terperosok?
Kemungkinan intervensi Bank Indonesia (BI) memainkan perannya. Nanang Hendarsah, Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, menyatakan bahwa bank sentral konsisten berada di pasar untuk melakukan stabilitasi.
"BI akan tetap konsisten berada di pasar untuk mengawal stabilitas rupiah, disertai upaya penguatan jalinan koordinasi dan komunikasi dengan otoritas lain dan perbankan," kata Nanang.
Sepertinya hari ini pun BI masih rajin 'bergerilya' di pasar. Akibatnya, depresiasi rupiah menipis dan rupiah mampu memperbaiki posisi di klasemen mata uang Asia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular