Kehabisan Napas, Rupiah Finis di Peringkat 4 Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 January 2019 17:02
Kehabisan Napas, Rupiah Finis di Peringkat 4 Asia
Ilustrasi Dolar AS dan Rupiah (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun agak patut disayangkan karena sejak jelang tengah hari rupiah seperti kehabisan napas. 

Pada Senin (28/1/2019), US$ 1 sama dengan Rp 14.065 kala penutupan pasar. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu. 

Memulai hari, rupiah menguat 0,14%. Penguatan rupiah terus menebal dan sempat mencapai kisaran 0,4%. 


Namun itu tidak lama karena jelang tengah hari rupiah mulai kehabisan napas. Apresiasi rupiah semakin tipis dan tinggal tersisa 0,11% saat penutupan pasar. 

Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah sepanjang hari ini: 

 

Saat masih jaya-jayanya, yaitu pagi tadi, rupiah sempat menjadi mata uang terbaik di Asia. Sayangnya, posisi di puncak klasemen itu tidak bertahan lama. 

Hampir sepanjang hari ini rupiah mampu mempertahankan posisi setidaknya di peringkat kedua klasemen mata uang Asia. Namun dengan napas yang terengah-engah, posisi runner-up pun terlepas. 




Ringgit Malaysia masih menjadi mata uang terkuat di Benua Kuning. Disusul oleh yen Jepang di peringkat kedua dan yuan China di posisi ketiga. Rupiah harus puas finis di peringkat keempat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 16:30 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Rupiah dan sebagian besar mata uang utama Asia agak jittery (gemetar) menanti rencana dialog dagang AS-China. Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan China Liao Min akan mengunjungi Washington pada 28 Januari waktu setempat. Bahkan kabarnya Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC), disebut-sebut juga akan ikut dalam delegasi itu. 

Mereka akan 'membuka jalan' bagi kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada 30-31 Januari. Liu akan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. 

Sembari menantikan kabar terbaru dari Washington, sepertinya investor memasang mode wait and see. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia mengalami tekanan jual, termasuk di Indonesia. 

Di pasar saham, investor asing membukukan jual bersih Rp 661,58 miliar sehingga Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,37%. Sementara di pasar obligasi, imbal hasil (yield) surat utang pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun tipis 0,1 basis poin yang menggambarkan keraguan pasar untuk masuk di instrumen ini. 

Selain menanti berita dari Washington, sepertinya pelaku pasar juga mencemaskan rilis data terbaru di China yang kurang ciamik. Pertama, Biro Statistik Nasional China mencatat laba perusahaan industri di Negeri Tirai Bambu terkontraksi alias negatif alias turun 1,9% secara year-on-year (YoY) pada Desember 2018. Lebih dalam dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya yaitu minus 1,8% YoY.

Sepanjang 2018, pertumbuhan laba industrial China adalah 10,3% YoY. Jauh melambat dibandingkan 2017 yang mencapai 21%. 

Kedua, Bank Sentral China (PBoC) merilis data penyaluran kredit properti yang juga melambat. Sepanjang 2018, penyaluran kredit properti tumbuh 20% YoY sementara pada 2017 tumbuh 20,9%. 

Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di China adalah sebuah kenyataan. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi seluruh negara termasuk Indonesia. 

Bagi Indonesia, China adalah mitra dagang yang sangat penting. Pasalnya, China menjadi negara tujuan ekspor utama. 

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas ke China selama 2018 adalah US$ 24,39 miliar. Tumbuh 14,25% dibandingkan 2017, dan China menduduki peringkat pertama dengan pangsa 15% dari total ekspor non-migas.

Apabila ekonomi China melambat, maka ekspor Indonesia akan kena getahnya. Penurunan permintaan dari China tentu sangat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan karena posisinya yang begitu sentral. 

Oleh karena itu, ada ekspor Indonesia berpotensi melambat saat ekonomi China tidak lagi melaju kencang. Pasokan devisa dari ekspor akan berkurang, dan rupiah kekurangan modal untuk menguat. 

Risiko ini membuat pelaku pasar berpikir ulang untuk mengoleksi rupiah. Sebab, masih ada risiko pelemahan yang menghantui mata uang Tanah Air.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular