China Bebani Langkah Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
28 January 2019 14:27
China Bebani Langkah Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun apresiasi rupiah terus menipis meski masih cukup aman di zona hijau. 

Pada Senin (28/1/2019) pukul 14:12 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.045. Rupiah menguat 0,25% dibandingkan posisi penutupan hari sebelumnya. 

Namun, sebenarnya penguatan rupiah agak melambat. Pagi tadi, penguatan rupiah sempat menyentuh kisaran 0,4%. 


Secara umum, mata uang utama Asia juga bernasib sama seperti rupiah. Mayoritas mata uang utama Benua Kuning memang menguat di hadapan dolar AS, tetapi penguatannya tergerus. 

Walau penguatannya berkurang, tetapi rupiah masih masuk jajaran elit mata uang Asia. Ringgit Malaysia masih menjadi mata uang terkuat di Asia, dan rupiah bertahan di posisi kedua. 


Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 14:15 WIB: 

 

Apa yang terjadi? Mengapa keperkasaan rupiah cs di Asia agak meredup? 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Mungkin jawabannya ada di China. Hari ini dirilis dua data ekonomi di sana, dan hasilnya kurang impresif.

Pertama, Biro Statistik Nasional China mencatat laba perusahaan industri di Negeri Tirai Bambu terkontraksi alias negatif alias turun 1,9% secara year-on-year (YoY) pada Desember 2018. Lebih dalam dibandingkan kontraksi bulan sebelumnya yaitu minus 1,8% YoY.

Sepanjang 2018, pertumbuhan laba industrial China adalah 10,3% YoY. Jauh melambat dibandingkan 2017 yang mencapai 21%.

Sedangkan untuk perusahaan industrial milik negara atau BUMN, pertumbuhan laba pada 2018 berada di angka 12,6%. Juga melambat dibandingkan 2017 yang sebesar 16,1%.


Kedua, Bank Sentral China (PBoC) merilis data penyaluran kredit properti yang juga melambat. Sepanjang 2018, penyaluran kredit properti tumbuh 20% YoY sementara pada 2017 tumbuh 20,9%.

Data ini semakin memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi di China adalah sebuah kenyataan. China adalah perekonomian terbesar di Asia, sehingga perlambatan ekonomi di sana akan mempengaruhi seluruh negara termasuk Indonesia.

Bagi Indonesia, China adalah mitra dagang yang amat sangat begitu penting (harus ada hiperbola di sini). Pasalnya, China menjadi negara tujuan ekspor utama.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat ekspor non-migas ke China selama 2018 adalah US$ 24,39 miliar. Tumbuh 14,25% dibandingkan 2017, dan China menduduki peringkat pertama dengan pangsa 15% dari total ekspor non-migas Tanah Air.

Apabila ekonomi China melambat, maka ekspor Indonesia akan kena getahnya. Penurunan permintaan dari China tentu sangat mempengaruhi kinerja ekspor Indonesia secara keseluruhan karena posisinya yang begitu sentral.

Oleh karena itu, ada ekspor Indonesia berpotensi melambat saat ekonomi China tidak lagi melaju kencang. Pasokan devisa dari ekspor akan berkurang, dan rupiah kekurangan modal untuk menguat.

Risiko ini membuat pelaku pasar berpikir ulang untuk mengoleksi rupiah. Sebab, masih ada risiko pelemahan yang menghantui mata uang Tanah Air.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular