
Dari Bukan Siapa-siapa, Rupiah Jadi yang Terbaik di Asia
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
25 January 2019 16:44

Terlihat bahwa dolar AS melemah terhadap hampir seluruh mata uang utama Asia. Ternyata tidak hanya di Asia, dolar AS juga melemah secara global.
Pada pukul 16:23 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,16%. Padahal pagi tadi, indeks ini sempat menguat hingga 0,45%.
Dolar AS semakin tertekan setelah hadir perkembangan terbaru mengenai dialog dagang AS-China. Bloomberg News memberitakan, seperti dikutip dari Reuters, Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan China Liao Min akan mengunjungi Washington pada 28 Januari. Bahkan kabarnya Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC), disebut-sebut juga akan ikut dalam delegasi itu.
Mereka akan 'membuka jalan' bagi kedatangan Wakil Perdana Menteri China Liu He pada 30-31 Januari. Liu akan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steve Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer.
Kabar ini membuat pasar berbunga-bunga. Harapan akan damai dagang AS-China sepertinya bisa terwujud, meski mungkin memakan waktu yang tidak sebentar.
Akibatnya, investor mulai berani bermain di aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal pun mengalir deras ke Asia, termasuk Indonesia sehingga menopang penguatan rupiah.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga masih 'merestui' penguatan rupiah. Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), mengatakan saat ini nilai tukar rupiah masih terlalu murah alias undervalued. Oleh karena itu, rupiah masih punya tenaga untuk menguat dan BI tidak akan mengeremnya.
"Dengan konstelasi ekonomi dan pasar keuangan global, di mana kebijakan The Fed (The Federal Reserves, bank sentral AS) akan lebih lunak atau dovish, kami optimistis rupiah memiliki peluang untuk terus menguat. Mata uang rupiah masih undervalued, jadi kami akan membiarkan ruang bagi rupiah untuk terus menguat," tegas Nanang kepada CNBC Indonesia.
Menurut Nanang, penguatan rupiah tidak serta-merta menyebabkan defisit neraca perdagangan melebar. Memang benar bahwa ketika rupiah menguat maka harga produk-produk Indonesia di pasar global akan menjadi lebih mahal sehingga berpotensi menurunkan kinerja ekspor. Namun bagi Indonesia, penurunan ekspor bukan lebih karena perubahan mata uang.
"Defisit (neraca perdagangan) saat ini disebabkan oleh penurunan ekspor karena merosotnya (harga) komoditas," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Nanang, BI pun masih merasa perlu memberi ruang penguatan lebih lanjut kepada rupiah. "Tugas BI adalah mengawal pergerakan rupiah baik saat melemah maupun menguat agar terukur perubahannya sehingga tercipta stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah tetap terjaga," sebutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pada pukul 16:23 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi greenback di hadapan enam mata uang utama dunia) terkoreksi 0,16%. Padahal pagi tadi, indeks ini sempat menguat hingga 0,45%.
Dolar AS semakin tertekan setelah hadir perkembangan terbaru mengenai dialog dagang AS-China. Bloomberg News memberitakan, seperti dikutip dari Reuters, Wakil Menteri Perdagangan China Wang Shouwen dan Wakil Menteri Keuangan China Liao Min akan mengunjungi Washington pada 28 Januari. Bahkan kabarnya Yi Gang, Gubernur Bank Sentral China (PBoC), disebut-sebut juga akan ikut dalam delegasi itu.
Kabar ini membuat pasar berbunga-bunga. Harapan akan damai dagang AS-China sepertinya bisa terwujud, meski mungkin memakan waktu yang tidak sebentar.
Akibatnya, investor mulai berani bermain di aset-aset berisiko di negara berkembang. Arus modal pun mengalir deras ke Asia, termasuk Indonesia sehingga menopang penguatan rupiah.
Dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) juga masih 'merestui' penguatan rupiah. Nanang Hendarsah, Kepala Departemen Pengelolaan Moneter Bank Indonesia (BI), mengatakan saat ini nilai tukar rupiah masih terlalu murah alias undervalued. Oleh karena itu, rupiah masih punya tenaga untuk menguat dan BI tidak akan mengeremnya.
"Dengan konstelasi ekonomi dan pasar keuangan global, di mana kebijakan The Fed (The Federal Reserves, bank sentral AS) akan lebih lunak atau dovish, kami optimistis rupiah memiliki peluang untuk terus menguat. Mata uang rupiah masih undervalued, jadi kami akan membiarkan ruang bagi rupiah untuk terus menguat," tegas Nanang kepada CNBC Indonesia.
Menurut Nanang, penguatan rupiah tidak serta-merta menyebabkan defisit neraca perdagangan melebar. Memang benar bahwa ketika rupiah menguat maka harga produk-produk Indonesia di pasar global akan menjadi lebih mahal sehingga berpotensi menurunkan kinerja ekspor. Namun bagi Indonesia, penurunan ekspor bukan lebih karena perubahan mata uang.
"Defisit (neraca perdagangan) saat ini disebabkan oleh penurunan ekspor karena merosotnya (harga) komoditas," ujarnya.
Oleh karena itu, lanjut Nanang, BI pun masih merasa perlu memberi ruang penguatan lebih lanjut kepada rupiah. "Tugas BI adalah mengawal pergerakan rupiah baik saat melemah maupun menguat agar terukur perubahannya sehingga tercipta stabilitas dan kepercayaan masyarakat terhadap rupiah tetap terjaga," sebutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular