Beda Pilihan Intiland dan Alam Sutera Terkait Utang Valas

Arif Gunawan, CNBC Indonesia
24 January 2019 18:42
Beda Pilihan Intiland dan Alam Sutera Terkait Utang Valas
Jakarta, CNBC Indonesia - Pelemahan rupiah tahun lalu menciptakan tantangan bagi emiten obligasi valas (dalam dolar Amerika Serikat/ AS). PT Intiland Development Tbk (DILD) pun mengambil "jalur hidup" yang berbeda dari PT Alam Sutera Tbk (ASRI).

Pada Agustus tahun lalu, Intiland menunda rencana penerbitan obligasi senilai US$220 juta menyusul gejolak bursa global yang berujung pada depresiasi rupiah. Menurut catatan Tim Riset CNBC Indonesia, mata uang Garuda memang melemah hingga 6% sepanjang tahun lalu.

Sebagai gantinya, emiten properti yang didirikan oleh Hendro S. Gondokusumo, memutuskan menghentikan rencana tersebut, dan berpindah pada pendanaan dalam denominasi lokal. Hal ini terkonfirmasi dalam wawancara dengan CNBC Indonesia TV pada Kamis (24/2/2019).

"Jadi, kami pakai sindikasi local bank saja. Angkanya Rp 2,8 triliun, [dananya] untuk refinancing [pembiayaan kembali utang lama]. Menurut kami, lebih menarik untuk menarik pendanaan dalam rupiah," tutur Direktur Pengelolaan Modal dan Investasi Intiland Archid Notopradono.

Kredit sindikasi tersebut berasal dari dua bank yakni PT Bank Negara Indonesia Tbk dan PT Bank Central Asia Tbk dan berjatuh tempo 2027. Biaya pendanaan (cost of fund) utang berdenominasi rupiah itu menurut Archid lebih menarik dengan bunga di kisaran 10%.

Sebelumnya, menurut catatan CNBC Indonesia, perseroan menjajaki penerbitan obligasi dolar Amerika Serikat (AS) senilai US$220 juta untuk membiayai kembali (refinancing) utang-utangnya dalam denominasi rupiah, yang jika ditotal nilainya setara dengan US$176 juta.

Karenanya, muncul angka emisi obligasi valas US$220 juta dalam rencana perseroan. Namun, setelah rupiah melemah sebesar 6,5% hingga Agustus tahun lalu, perseroan pun menunda rencana emisi obligasi valas tersebut.

Langkah Intiland ini berbalik 180 derajat dari yang diambil oleh pengembang lainnya yakni PT Alam Sutera Realty Tbk, yang pada 22 Januari mengumumkan penerbitan obligasi valas senilai US$175 juta.

Emiten berkode saham ASRI tersebut terlihat mengikuti strategi "frontloading" pemerintah yang membuka tahun dengan menerbitkan obligasi bernilai signifikan.Pemerintah menawarkan rerata kupon 4,85% untuk tiga seri global bond senilai total US$3 miliar.

NEXT

Dalam keterbukaan informasinya, Alam Sutera menyebutkan emisi obligasi senior senilai US$ 175 juta (Rp 2,45 triliun) pada 22 Januari lalu itu dipasarkan kepada investor di luar wilayah Amerika Serikat (AS) melalui anak usahanya yakni Alam Synergy Pte. Ltd.

Hasil emisi akan digunakan Carslisle untuk memberikan pinjaman lagi pada Alam Synergy dan PT Delta Mega Persada (DMP), anak usaha yang menjadi penjamin obligasi guna melunasi sebagian surat utang lama senilai US$162 juta.

Emiten properti yang berbasis di Tangerang itu memang sedang berjuang melunasi sebagian surat utang senior senilai US$162 juta (Rp 2,27 trilliun) dari total obligasi senior yang masih ada (outstanding) sebesar US$235 juta.

Maklum saja, menurut perhitungan internal perseroan, setiap pelemahan nilai tukar rupiah sebesar 5%, akan memangkas laba sebelum pajak hingga Rp300 miliar! Inilah yang berpeluang besar menekan kinerja perseroan pada tahun 2018, di mana rupiah telah anjlok 6%.

Sementara itu, Intiland berada di posisi yang lebih aman karena tidak memiliki obligasi valas, meski sempat tergiur untuk menerbitkannya, karena spread kupon yang lebih rendah.

“Kami tidak memiliki utang valas, tetapi berencana menerbitkan obligasi dolar AS karena lebih murah.”
Mengacu pada obligasi Alam Sutera yang menawarkan kupon di kisaran 6%, utang sindikasi Intiland dengan bunga 10% saat ini tentu terhitung lebih mahal.

Namun, yang wajib dicatat, Archid dan manajemen Intiland lainnya tak perlu “degdegan” setiap kali rupiah terpelanting.
Pada 2019, Bank Indonesia (BI) memperkirakan tekanan terhadap rupiah berkurang karena bank sentral AS (The Fed) cenderung mengurangi laju kenaikan Fed Funds Rate.

Namun, jangan santai dulu. Masih ada risiko perang dagang dan risiko resesi AS yang membayangi pasar.
Di sisi lain, Alam Sutera mau tidak mau harus menerbitkan obligasi valas karena harus membiayai kembali obligasi valasnya yang terlanjur diterbitkannya. Untung saja, perseroan telah melakukan lindung nilai (hedging) guna mengurangi risiko kurs atas utang valasnya.

Lalu, apa kabar emiten properti yang tak melakukan hedging? Mengutip laporan perusahaan pemeringkat Moody's, ada dua emiten properti yang tidak melakukan hedging atas kewajiban dalam mata uang asing mereka, yakni PT Bumi Serpong Damai Tbk (BSDE) dan PT Sentul City Tbk (BKSL).

Seperti halnya pilpres, beda pilihan itu biasa lah. Hanya saja, dalam dunia bisnis perbedaan ini bisa berujung pada beban hingga miliaran rupiah.


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular