Si Emas Hitam Jadi Modal Keperkasaan Rupiah

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
22 January 2019 12:25
Si Emas Hitam Jadi Modal Keperkasaan Rupiah
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) berhasil bertahan menguat hingga tengah hari ini. Namun rupiah bergerak dalam rentang sempit, menandakan investor masih ragu-ragu untuk memborong mata uang Tanah Air. 

Pada Selasa (22/1/2019), pukul 12:03 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.205 di perdagangan pasar spot. Rupiah menguat 0,11% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya. 

Kala pembukaan pasar, rupiah menguat dengan besaran serupa yaitu 0,11%. Namun tidak lama kemudian penguatan rupiah sempat menipis hingga ke titik impas. 


Selepas itu, rupiah kembali menguat dan bahkan semakin mantap dengan membuat dolar AS mampu didorong ke bawah Rp 14.200. Akan tetapi, situasi itu lagi-lagi tidak bertahan lama karena kemudian apresiasi rupiah menipis dan dolar AS kembali ke level Rp 14.200. Gerak rupiah masih sangat labil. 


Berikut pergerakan kurs dolar AS terhadap rupiah hingga tengah hari ini: 



Rupiah beruntung karena mayoritas mata uang Asia melemah di hadapan dolar AS. Selain rupiah, hanya yen Jepang dan won Korea Selatan yang menguat. Sisanya tidak selamat. 

Berikut perkembangan nilai tukar dolar AS terhadap mata uang utama Asia pada pukul 12:10 WIB: 

 


(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Tidak hanya pasar valas, pasar saham Asia pun dihiasi warna merah. Pada pukul 12:12 WIB, indeks Nikkei 225 melemah 0,62%, Hang Seng anjlok 1,01%, Shanghai Composite minus 0,73%, Kospi terkoreksi 0,57%, Straits Times berkurang 0,35%, dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) turun 0,49%. 

Angka-angka tersebut menggambarkan investor sedang cenderung menghindari pasar keuangan Asia. Penyebabnya adalah proyeksi ekonomi terbaru dari Dana Moneter Internasional (IMF).  

Dalam perkiraan teranyar, Christine Lagarde dan kolega meramal ekonomi global akan tumbuh 3,5% pada 2019. Lebih lambat dibandingkan proyeksi yang dibuat Oktober 2018 yaitu 3,7%. Beberapa faktor yang menjadi pemberat laju pertumbuhan ekonomi global adalah perlambatan ekonomi di China dan kemungkinan No Deal Brexit.

"Setelah 2 tahun ekspansi yang solid, ekonomi dunia akan tumbuh lebih lambat dan risiko meningkat. Apakah ancaman resesi sudah dekat? Tidak, tetapi risiko perlambatan jelas menjadi lebih besar," kata Lagarde dalam konferensi pers di sela pertemuan World Economic Forum (WEF) di Davos, mengutip Reuters. 

Proyeksi IMF ini membuat pasar kurang trengginas, ada keragu-raguan. Dibayangi risiko perlambatan ekonomi global, bisa saja investor memilih bermain aman. Tentu bukan kondisi yang ideal bagi pasar keuangan negara berkembang di Asia. 

Namun, rupiah tertolong oleh harga minyak dunia yang masih terkoreksi. Pada pukul 12:14 WIB, harga minyak jenis brent turun 0,88% dan light sweet anjlok 1,02%. 


Apabila harga minyak sudah memasuki siklus koreksi, maka ini akan menjadi kabar baik bagi rupiah. Sebagai negara net importir minyak, Indonesia tentu diuntungkan jika harga minyak turun karena biaya impor akan lebih murah. 

Akibatnya, defisit transaksi berjalan (current account deficit) bisa dikurangi. Rupiah pun akan punya ruang untuk menguat karena ada lebih banyak pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa.

Jika kemarin harga minyak menjadi pemberat, kini si emas hitam menjadi penyokong rupiah. Indonesia patut berterima kasih kepada si emas hitam.


TIM RISET CNBC INDONESIA



(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular