Gara-gara Rupiah Keok, IHSG Cuma Bisa Naik Tipis

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
21 January 2019 16:39
Gara-gara Rupiah Keok, IHSG Cuma Bisa Naik Tipis
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Sempat menguat hingga 0,37%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) hanya menguat tipis 0,04% untuk menutup perdagangan pertama di pekan ini ke level 6.450,83.

Nilai transaksi tercatat sebesar Rp 8,4 triliun dengan volume sebanyak 12,38 miliar unit saham. Frekuensi perdagangan adalah 465.941 kali.

Saham-saham yang berkontribusi signifikan bagi kenaikan IHSG adalah: PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (+2,21%), PT Bayan Resources Tbk/BYAN (+2,79%), PT Semen Indonesia Tbk/SMGR (+2,17%), PT Astra Agro Lestari Tbk/AALI (+6,4%), dan PT Bank CIMB Niaga Tbk/BNGA (+4,11%).

Kinerja IHSG senada dengan bursa saham utama kawasan Asia yang juga diperdagangkan di zona hijau: indeks Nikkei naik 0,26%, indeks Shanghai naik 0,56%, indeks Hang Seng naik 0,39%, indeks Straits Times naik 0,18%, dan indeks Kospi naik 0,02%.

Optimisme bahwa AS dan China dapat mengakhiri perang dagang yang selama ini berkecamuk membuat instrumen berisiko seperti saham menjadi menarik. Bloomberg melaporkan bahwa China memberikan penawaran untuk menaikkan impor produk-produk asal AS selama 6 tahun ke depan dengan nilai total mencapai lebih dari US$ 1 triliun, seperti dikutip dari CNBC International.

Penawaran ini diberikan China kala melakukan negosiasi dengan AS di Beijing pada awal bulan ini. Penawaran ini bertujuan untuk membuat neraca dagang China-AS impas pada tahun 2024. Pada tahun 2018, China membukukan surplus neraca dagang senilai US$ 323 miliar dengan AS.

Berita ini beredar pasca Wall Street Journal melaporkan bahwa AS siap menghapus bea masuk untuk berbagai produk impor made in China, walaupun kabar tersebut kemudian dibantah oleh Kementerian Keuangan AS.

Sebagai informasi, Wakil Perdana Menteri China Liu He dijadwalkan bertandang ke Washington pada 30 dan 31 Januari untuk melakukan negosiasi dagang lanjutan dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer. Rilis data ekonomi di China juga mendukung bagi bursa saham regional untuk melaju di zona hijau. Pada pukul 9:00 WIB, pertumbuhan ekonomi China periode kuartal-IV 2018 diumumkan sebesar 6,4% YoY. Dengan demikian, pertumbuhan ekonomi sepanjang tahun 2018 adalah sebesar 6,6%, laju terlemah sejak 1990.

Namun, hal ini sudah diantisipasi oleh pelaku pasar. Pertumbuhan ekonomi tahun 2018 yang sebesar 6,6% sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh Reuters, seperti dikutip dari CNBC International.

Lebih lanjut, pertumbuhan produksi industri China periode Desember 2018 diumumkan sebesar 5,7% YoY, mengalahkan konsensus yang sebesar 5,3% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics.

Berbicara mengenai tekanan terhadap perekonomian China, otoritas disana sudah mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk meredamnya. Pada hari Selasa (15/1/2019), Kementerian Keuangan China mengatakan bahwa mereka akan mengimplimentasikan pemotongan pajak dan biaya yang lebih besar.

Melansir Reuters, beberapa analis percaya bahwa China dapat memberlakukan pemotongan pajak dan biaya senilai CNY 2 triliun. Selain itu, China juga diyakini akan memperbolehkan pemerintah daerah untuk menerbitkan obligasi khusus (special bond) senilai CNY 2 triliun yang sebelumnya banyak digunakan untuk membiayai proyek-proyek penting.

Kemudian pada hari Rabu (16/1/2019), People's Bank of China selaku bank sentral China menyuntikkan dana senilai CNY 560 miliar (US$ 83 miliar) ke perbankan melalui operasi pasar terbuka. Suntikan sebesar CNY 560 miliar tersebut merupakan yang terbesar dalam sejarah China. Dengan likuiditas yang kian longgar, suku bunga kredit diharapkan bisa ditekan dan memacu laju perekonomian China. Di sisi lain, penguatan IHSG dan bursa saham negara-negara tetangga dibatasi oleh rilis data ekonomi yang datang dari Jepang, negara dengan perekonomian terbesar ketiga di dunia. Berdasarkan Reuters Tankan Index periode Januari 2019 yang didapat dari survei terhadap perusahaan skala besar dan menengah di Jepang, optimisme pelaku usaha sektor manufaktur turun 5 poin menjadi 18 pada bulan ini, level terendah dalam 2 tahun terakhir.

Melansir Reuters, eksportir mengeluhkan lemahnya permintaan dari China dan AS. Mereka juga menyuarakan kekhawatirannya mengenai perang dagang antar 2 negara mitra dagang utamanya tersebut.

Hasil survei yang mengecewakan tersebut menunjukkan menunjukkan bahwa perekonomian Jepang masih akan menghadapi tekanan yang besar kedepannya. Belum lama ini, inflasi Jepang periode Desember 2018 diumumkan sebesar 0,3% YoY, jauh melambat dari capaian November yang sebesar 0,8% YoY, seperti dilansir dari Trading Economics. Laju inflasi bulan Desember juga merupakan yang terlambat sejak Oktober 2017.

Selain itu, pelemahan rupiah juga membatasi ruang gerak IHSG. Hingga sore hari, rupiah melemah 0,35% di pasar spot ke level Rp 14.220/dolar AS. Penguatan harga minyak mentah dunia menjadi salah satu faktor yang menekan kinerja rupiah.

Pada perdagangan hari Jumat (18/1/2019), harga minyak WTI kontrak pengiriman Februari 2019 melesat 3,32% ke level US$ 53,8/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Maret 2019 menguat 2,48% ke level US$ 62,7/barel. Secara mingguan, harga minyak WTI meroket 4,28% pada pekan kemarin, sementara minyak brent melesat 3,67%.

Perkasanya harga minyak mentah tentu menjadi kabar buruk bagi rupiah, lantaran bisa memperparah defisit perdagangan minyak dan gas (migas) yang pada akhirnya akan membuat defisit neraca berjalan (current account deficit/CAD) kian lebar. Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan migas.

TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/hps) Next Article Ikut Melemah, Rupiah Tembus 14.500 Per Dolar AS

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular