
The Fed Sudah Jinak, Akankah BI Ikut Lunak?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
17 January 2019 11:50

Jakarta, CNBC Indonesia - Siang ini, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan suku bunga acuan. Kemungkinan Perry Warjiyo dan kolega akan menahan BI 7 Day Reverse Repo Rate di 6%.
Meski baru awal tahun, menarik untuk meneropong kebijakan BI pada 2019. Apakah BI masih mempertahankan posisi (stance) agresif alias hawkish seperti 2018?
Tahun lalu, Perry mengakui bahwa stance BI adalah hawkish yang ditunjukkan dengan menaikkan suku bunga acuan sampai 6 kali. BI 7 Day Reverse Repo Rate dikerek dari 4,25% menjadi 6% pada akhir tahun.
Stance BI ini tidak lepas dari tren global yang memang mengarah ke suku bunga tinggi. The Federal Reserve/The Fed, Bank Sentral Amerika Serikat (AS), menaikkan suku bunga acuan sampai empat kali. Langkah The Fed menjadi panutan bank sentral di negara-negara lain, tidak terkecuali Indonesia.
Kenaikan Federal Funds Rate yang agresif membuat arus modal begitu deras mengalir ke Negeri Paman Sam. Dolar AS pun menguat ugal-ugalan, menjadi raja mata uang dunia. Mata uang negara lain tidak berdaya di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah yang melemah nyaris 6% sepanjang 2018. Untuk membuat rupiah kembali menarik, BI pun menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.
Namun kini situasi sudah berbalik. Laju perekonomian AS melambat seiring dampak penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang mulai mereda. The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal IV-2018 di angka 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quaterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,5%.
Ditambah lagi terjadi perlambatan ekonomi di berbagai negara seperti China dan Zona Euro. Perlambatan ekonomi di negara-negara tersebut bisa mempengaruhi kinerja ekonomi Negeri Adidaya.
"Kami harus mencapai start yang bagus pada kuartal I untuk mencapai target-target pembangunan secara tahunan (full year). Pembangunan di negara ini semakin kompleks pada 2019, dengan kesulitan dan tantangan serta risiko ke bawah (downward pressure) yang meningkat," kata Li Keqiang, Perdana Menteri China, mengutip Reuters.
Kemudian Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi juga mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Menurut Draghi, Eropa ternyata masih membutuhkan stimulus moneter karena laju pertumbuhan ekonomi yang lesu.
"Stimulus moneter yang signifikan masih dibutuhkan untuk mendukung kenaikan harga di tingkat domestik dan inflasi dalam jangka menengah," ungkap Draghi di depan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
Meski baru awal tahun, menarik untuk meneropong kebijakan BI pada 2019. Apakah BI masih mempertahankan posisi (stance) agresif alias hawkish seperti 2018?
Tahun lalu, Perry mengakui bahwa stance BI adalah hawkish yang ditunjukkan dengan menaikkan suku bunga acuan sampai 6 kali. BI 7 Day Reverse Repo Rate dikerek dari 4,25% menjadi 6% pada akhir tahun.
Kenaikan Federal Funds Rate yang agresif membuat arus modal begitu deras mengalir ke Negeri Paman Sam. Dolar AS pun menguat ugal-ugalan, menjadi raja mata uang dunia. Mata uang negara lain tidak berdaya di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah yang melemah nyaris 6% sepanjang 2018. Untuk membuat rupiah kembali menarik, BI pun menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali.
Namun kini situasi sudah berbalik. Laju perekonomian AS melambat seiring dampak penurunan tarif Pajak Penghasilan (PPh) yang mulai mereda. The Fed memperkirakan pertumbuhan ekonomi AS pada kuartal IV-2018 di angka 2,8% secara kuartalan yang disetahunkan (quaterly annualized). Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mencapai 3,5%.
Ditambah lagi terjadi perlambatan ekonomi di berbagai negara seperti China dan Zona Euro. Perlambatan ekonomi di negara-negara tersebut bisa mempengaruhi kinerja ekonomi Negeri Adidaya.
"Kami harus mencapai start yang bagus pada kuartal I untuk mencapai target-target pembangunan secara tahunan (full year). Pembangunan di negara ini semakin kompleks pada 2019, dengan kesulitan dan tantangan serta risiko ke bawah (downward pressure) yang meningkat," kata Li Keqiang, Perdana Menteri China, mengutip Reuters.
Kemudian Presiden Bank Sentral Uni Eropa (ECB) Mario Draghi juga mengeluarkan pernyataan yang mengejutkan. Menurut Draghi, Eropa ternyata masih membutuhkan stimulus moneter karena laju pertumbuhan ekonomi yang lesu.
"Stimulus moneter yang signifikan masih dibutuhkan untuk mendukung kenaikan harga di tingkat domestik dan inflasi dalam jangka menengah," ungkap Draghi di depan Parlemen Uni Eropa, mengutip Reuters.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular