
Dihantam Kanan-Kiri Depan-Belakang Atas-Bawah, Rupiah Melemah
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 January 2019 09:28

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) sudah melemah di perdagangan pasar spot awal pekan ini. Berbagai sentimen negatif menerpa rupiah sehingga sulit bertahan di zona hijau.
Pada Senin (14/1/2019) pukul 09:21 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.064. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,07%. Namun penguatan itu sulit bertahan lama.
Tidak heran karena rupiah ditekan dari segala penjuru. Pertama, penguatan rupiah memang sudah agak 'ugal'ugalan'.
Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 1,58% di hadapan dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah sudah terapresiasi 2,26% di hadapan dolar AS.
Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sedemikian tajam membuat investor merasa tergoda untuk mencairkan laba. Aksi jual membayangi rupiah, sehingga rentan mengalami depresiasi.
Kedua, harga minyak masih dalam tren peningkatan. Harga minyak jenis brent melonjak 12,27% sejak akhir 2018.
Damai dagang AS-China yang semakin nyata membuat harga si emas hitam masih enggan turun. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka ada harapan pertumbuhan ekonomi global kembali menggeliat. Akibatnya, permintaan energi akan tetap terjaga sehingga harga minyak cenderung naik.
Kenaikan harga minyak bukan kabar gembira bagi rupiah. Saat harga minyak makin mahal, biaya impor komoditas ini pun meningkat. Hasilnya jelas, defisit transaksi berjalan (current account) akan semakin menganga.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, fundamental rupiah menjadi rapuh. Akibatnya, ruang depresiasi menjadi terbuka jika tidak ada pasokan valas dari sektor keuangan alias hot money.
Apesnya, kita masuk ke faktor ketiga, aliran hot money kemungkinan bisa seret. Investor kini tengah berdebar-debar menanti nasib perceraian Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Pada 15 Januari waktu setempat akan diadakan pemungutan suara di parlemen Inggris untuk menentukan nasib Brexit. Theresa May, Perdana Menteri Inggris, mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit.
Ketika pemerintahan AS tidak berfungsi, maka berbagai layanan publik akan terhenti. Pada satu titik, ini akan mempengaruhi roda perekonomian AS. Perlambatan ekonomi akan semakin menjadi kala pemerintah ikut-ikutan tidak bergerak.
AS adalah ekonomi terbesar di dunia, sehingga apa yang terjadi di sana akan dirasakan oleh negara-negara lain. Jika ekonomi AS semakin tidak bergerak gara-gara shutdown, maka negara lain akan merasakan akibatnya.
Kemudian ada faktor keenam, yaitu investor menantikan rilis neraca perdagangan Indonesia yang diumumkan esok hari. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan pada Desember 2018 mengalami defisit US$ 1,01 miliar.
Defisit di neraca perdagangan menyebabkan transaksi berjalan kuartal IV-2018 kemungkinan besar masih tekor. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dihantam berbagai sentimen negatif tersebut, wajar apabila rupiah tidak bisa lama bertahan di area apresiasi. Tanpa dukungan yang memadai, rupiah harus rela menerima kenyataan pahit yaitu terjungkal ke zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Senin (14/1/2019) pukul 09:21 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.064. Rupiah melemah 0,17% dibandingkan posisi penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,07%. Namun penguatan itu sulit bertahan lama.
Tidak heran karena rupiah ditekan dari segala penjuru. Pertama, penguatan rupiah memang sudah agak 'ugal'ugalan'.
Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 1,58% di hadapan dolar AS. Sejak awal tahun, rupiah sudah terapresiasi 2,26% di hadapan dolar AS.
Ini membuat rupiah rentan terserang koreksi teknikal. Penguatan rupiah yang sedemikian tajam membuat investor merasa tergoda untuk mencairkan laba. Aksi jual membayangi rupiah, sehingga rentan mengalami depresiasi.
Kedua, harga minyak masih dalam tren peningkatan. Harga minyak jenis brent melonjak 12,27% sejak akhir 2018.
Damai dagang AS-China yang semakin nyata membuat harga si emas hitam masih enggan turun. Kala dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi sudah tidak lagi saling hambat di bidang perdagangan, maka ada harapan pertumbuhan ekonomi global kembali menggeliat. Akibatnya, permintaan energi akan tetap terjaga sehingga harga minyak cenderung naik.
Kenaikan harga minyak bukan kabar gembira bagi rupiah. Saat harga minyak makin mahal, biaya impor komoditas ini pun meningkat. Hasilnya jelas, defisit transaksi berjalan (current account) akan semakin menganga.
Tanpa dukungan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, fundamental rupiah menjadi rapuh. Akibatnya, ruang depresiasi menjadi terbuka jika tidak ada pasokan valas dari sektor keuangan alias hot money.
Apesnya, kita masuk ke faktor ketiga, aliran hot money kemungkinan bisa seret. Investor kini tengah berdebar-debar menanti nasib perceraian Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Pada 15 Januari waktu setempat akan diadakan pemungutan suara di parlemen Inggris untuk menentukan nasib Brexit. Theresa May, Perdana Menteri Inggris, mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Belum lagi ada faktor keempat, yaitu pemerintahan AS yang masih tutup sebagian (partial shutdown). Pada pukul 09:17 WIB, shutdown sudah berlangsung selama 22 hari, 21 jam, dan 17 menit. Ini adlaah rekor shutdown terlama dalam sejarah modern Negeri Adidaya.Ketika pemerintahan AS tidak berfungsi, maka berbagai layanan publik akan terhenti. Pada satu titik, ini akan mempengaruhi roda perekonomian AS. Perlambatan ekonomi akan semakin menjadi kala pemerintah ikut-ikutan tidak bergerak.
AS adalah ekonomi terbesar di dunia, sehingga apa yang terjadi di sana akan dirasakan oleh negara-negara lain. Jika ekonomi AS semakin tidak bergerak gara-gara shutdown, maka negara lain akan merasakan akibatnya.
Kemudian ada faktor keenam, yaitu investor menantikan rilis neraca perdagangan Indonesia yang diumumkan esok hari. Konsensus sementara yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan neraca perdagangan pada Desember 2018 mengalami defisit US$ 1,01 miliar.
Defisit di neraca perdagangan menyebabkan transaksi berjalan kuartal IV-2018 kemungkinan besar masih tekor. Bank Indonesia (BI) memperkirakan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 masih di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Dihantam berbagai sentimen negatif tersebut, wajar apabila rupiah tidak bisa lama bertahan di area apresiasi. Tanpa dukungan yang memadai, rupiah harus rela menerima kenyataan pahit yaitu terjungkal ke zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular