Rupiah Berdiri di Atas Es yang Amat Tipis

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
14 January 2019 08:33
Tunggu Voting Brexit, Pasar Berdebar-debar
Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Pekan lalu, rupiah dan mata uang Asia sangat terbantu oleh dua sentimen besar. Pertama adalah aura damai dagang AS-China yang semakin terasa. 

Setelah pertemuan tingkat wakil menteri AS-China 3 hari di Beijing, Wakil Perdana Menteri China Liu He dijadwalkan bertemu dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer di Washington akhir bulan ini. Jalan mengubah perang dagang menjadi damai dagang semakin terbuka, dan ini membuat investor berani masuk ke instrumen-instrumen berisiko di Asia. 

Sentimen kedua adalah sikap (stance) The Federal Reserve/The Fed yang semakin hati-hati. Pekan lalu, setidaknya dua komentar bernada dovish keluar dari petinggi-petinggi bank sentral Negeri Paman Sam. 

"Dengan inflasi rendah dan terkendali, kami bisa lebih sabar dan memantau dengan saksama bagaimana narasi pada 2019," tutur Gubernur The Fed Jerome'Jay' Powell, akhir pekan lalu, mengutip Reuters. 

Pelaku pasar membaca bahwa The Fed yang semakin kurang hawkish sudah terlihat nyata. The Fed kini begitu hati-hati, begitu kalem, dan bahkan sudah berani menyebut inflasi rendah dan terkendali. 

Tidak hanya Powell, pernyataan Wakil Gubernur Richard Clarida pun kian memberi konfirmasi bahwa The Fed sudah melunak. Clarida memberi sinyal The Fed harus siap mengubah stance kebijakan menjadi ke arah pro pertumbuhan ekonomi.  

"Pertumbuhan ekonomi negara-negara lain mengalami moderasi. Perkembangan ini berdampak kepada perekonomian AS. Jika situasi ini bertahan, maka kebijakan moneter harus berubah untuk mengatasi hal tersebut," kata Clarida, mengutip Reuters. 

Dolar AS pun kian terpuruk akibat pernyataan para pejabat The Fed tersebut. Dollar Index melemah 0,53% sepanjang pekan lalu. 

Namun saat ini sentimen-sentimen tersebut sudah mereda. Justru pasar tengah berdebar-debar menantikan perkembangan di Inggris. 

Pada 15 Januari waktu setempat akan diadakan pemungutan suara di parlemen Inggris untuk menentukan nasib Brexit. Theresa May, Perdana Menteri Inggris, mengingatkan bahwa apabila proposal Brexit tidak disetujui maka akan menjadi sebuah bencana besar. Inggris terancam keluar dari Uni Eropa tanpa kompensasi apa-apa alias No Deal Brexit

"Melakukan itu (menolak proposal Brexit) akan menjadi bencana dan pengkhianatan besar terhadap demokrasi. Pesan saya kepada parlemen sederhana saja, lupakan permainan (politik) dan lakukan yang benar untuk negara ini," tegas May dalam kolum di Sunday Express. 

Posisi May menjadi di ujung tanduk tatkala 'serangan' dari kubu oposisi semakin gencar. Jeremy Corbyn, Pemimpin Partai Buruh, menyatakan tidak ingin sampai terjadi No Deal Brexit. Namun apabila proposal Brexit yang diajukan May sampai kalah dalam voting nanti, maka kubu opisisi akan mengajukan mosi tidak percaya kepada pemerintah. 

Meski sangat dihindari, tetapi No Deal Brexit adalah sebuah kemungkinan yang tidak bisa dikesampingkan. Menurut harian The Observer, pihak militer sudah siap membantu sejumlah instansi pemerintah untuk bersiap menghadapi No Deal Brexit

Apabila sampai terjadi No Deal Brexit, dampaknya tidak main-main. Bank Sentral Inggris (BoE) memperkirakan ekonomi Inggris bisa lebih parah dibandingkan saat krisis keuangan global. No Deal Brexit akan menyebabkan ekonomi Negeri Ratu Elizabeth terkontraksi alias minus 8%. 

Sentimen negatif dari Inggris kemudian bisa menjalar ke berbagai negara. Dampaknya akan mengglobal, dan Indonesia juga bakal merasakannya.  

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular