
Gara-Gara China, Tidak Ada Happy Friday untuk Batu Bara
Taufan Adharsyah, CNBC Indonesia
11 January 2019 17:14

Jakarta, CNBC Indonesia - Pada penutupan perdangan kemarin (10/1/2019), harga batu bara Newcastle kembali amblas sebesar 0,25% ke level US$ 97,85/metrik ton, setelah sebelumnya ditutup menguat sebesar 0,31% di posisi US$ 98,1/metrik ton.


Performa mingguan harga batu bara mencatatkan pelemahan sebesar 1,66% secara point-to point. Sedangkan bila ditelusuri lebih jauh, harga batu bara sudah terpangkas 8,17% secara tahunan (YoY) saat ini.
Pelemahan batu bara masih terus tertekan akibat perlambatan ekonomi dunia yang semakin terasa. Terlebih lagi kemarin indeks harga produsen (PPI) dan konsumen (CPI) yang dirilis Biro Statistik China menunjukkan bahwa nilai yang terbilang rendah.
Pada periode Desember 2018, PPI China hanya sebesar 0,9% year-on-year (YoY) yang merupakan laju paling lambat sejak September 2018. Sedangkan CPI China hanya sebesar 1,9% YoY, lebih rendah daripada konsensus yang dihimpun Reuters.
Ditambah lagi rilis data dari China Passenger Car Association yang mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 5,8% ditahun 2018 dibanding tahun sebelumnya. Menurunnya indikator perekonomian China akan berdampak pada turunnya permintaan energi.
China sebagai importir terbesar batu bara dunia (51%) tentunya berperan besar terhadap keseimbangan pasokan-permintaan komoditas ini.
Terlebih lagi, data dari World Bank mengatakan bahwa energi listrik di China 72% dihasilkan dari batu bara.
World Bank dalam Comodity Market Outlook Oktober 2018 mengatakan bahwa konsumsi batu bara China pada tahun 2019 relatif tidak akan berubah, apalagi meningkat. Selain itu, perhatian terhadap peningkatan polusi udara juga dapat mempengaruhi kebijakan China dalam konsumsi energi batu bara.
Pada Februari 2018, China membatasi kuota impor batu bara, yang jumlahnya tidak boleh lebih dari tahun 2017. Berarti secara rata-rata setiap bulan hanya boleh mengimpor 15,76 juta ton. Memang pada Desember 2018 lalu peraturan ini sedikit dilonggarkan, namun hanya untuk batu bara jenis kokas yang dipergunakan dalam industri baja.
Tak heran, perlambatan ekonomi China saja sudah cukup menekan harga batu bara.
Tak hanya China, PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Terkontraksinya nilai PMI manufaktur sebuah negara mencerminkan bahwa aktifitas industri manufaktur yang melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Meskipun demikian, terdapat sentimen positif yang dapat sedikit meredam kekhawatiran pasar.
Siang ini, Gubernur Bank Sentral Amerika, Jerome Powell memberi sinyal bahwa The Fed cenderung akan dovish tahun ini. Powel mengatakan bahwa The Fed akan lebih sabar untuk mengambil kebijakan moneter sembari melihat tingkat inflasi di AS yang stabil. Mendengar ini, pelaku pasar makin optimis tidak ada kenaikan suku bunga acuan sama sekali di tahun ini.
Bahkan, menurut survei yang dilakukan CME, 97% pelaku pasar yakin bahwa The Fed benar-benar tidak akan menaikkan suku bunga di tahun 2019.
Itu artinya perekonomian AS bisa lebih leluasa untuk berkembang, yang sebelumnya selalu dalam bayang-bayang perlambatan ekonomi.
Disamping itu, perang dagang AS-China yang diperirakan akan mereda tahun ini juga ikut meredam kekhawatiran pasar. Meskipun hasilnya tidak dalam bentuk konkrit, namun secara umum memberikan kesan positif.
Kedua negara bersepakat untuk melanjutkan kerjasama dagangnya, dan saling menguntungkan di kemudian hari. Wajar saja, karena dampak-dampak pertikaian keduanya sudah mulai terasa, meskipun sepertinya China terdampak lebih parah.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Ukur Sentimen Pendorong Koreksi Harga Batu Bara


Performa mingguan harga batu bara mencatatkan pelemahan sebesar 1,66% secara point-to point. Sedangkan bila ditelusuri lebih jauh, harga batu bara sudah terpangkas 8,17% secara tahunan (YoY) saat ini.
Pelemahan batu bara masih terus tertekan akibat perlambatan ekonomi dunia yang semakin terasa. Terlebih lagi kemarin indeks harga produsen (PPI) dan konsumen (CPI) yang dirilis Biro Statistik China menunjukkan bahwa nilai yang terbilang rendah.
Ditambah lagi rilis data dari China Passenger Car Association yang mencatat penurunan penjualan mobil sebesar 5,8% ditahun 2018 dibanding tahun sebelumnya. Menurunnya indikator perekonomian China akan berdampak pada turunnya permintaan energi.
China sebagai importir terbesar batu bara dunia (51%) tentunya berperan besar terhadap keseimbangan pasokan-permintaan komoditas ini.
Terlebih lagi, data dari World Bank mengatakan bahwa energi listrik di China 72% dihasilkan dari batu bara.
World Bank dalam Comodity Market Outlook Oktober 2018 mengatakan bahwa konsumsi batu bara China pada tahun 2019 relatif tidak akan berubah, apalagi meningkat. Selain itu, perhatian terhadap peningkatan polusi udara juga dapat mempengaruhi kebijakan China dalam konsumsi energi batu bara.
Pada Februari 2018, China membatasi kuota impor batu bara, yang jumlahnya tidak boleh lebih dari tahun 2017. Berarti secara rata-rata setiap bulan hanya boleh mengimpor 15,76 juta ton. Memang pada Desember 2018 lalu peraturan ini sedikit dilonggarkan, namun hanya untuk batu bara jenis kokas yang dipergunakan dalam industri baja.
Tak heran, perlambatan ekonomi China saja sudah cukup menekan harga batu bara.
Tak hanya China, PMI Korea Selatan versi Nikkei/Markit Desember 2018 juta tercatat mengalami kontraksi ke 49,8 dari 49,9 di bulan November 2018.
Sementara angka PMI Taiwan versi Nikkei pada Desember berada di 47,7, turun dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 48,4. Angka ini menjadi yang terendah sejak September 2015.
Terkontraksinya nilai PMI manufaktur sebuah negara mencerminkan bahwa aktifitas industri manufaktur yang melambat dibandingkan periode sebelumnya.
Meskipun demikian, terdapat sentimen positif yang dapat sedikit meredam kekhawatiran pasar.
Siang ini, Gubernur Bank Sentral Amerika, Jerome Powell memberi sinyal bahwa The Fed cenderung akan dovish tahun ini. Powel mengatakan bahwa The Fed akan lebih sabar untuk mengambil kebijakan moneter sembari melihat tingkat inflasi di AS yang stabil. Mendengar ini, pelaku pasar makin optimis tidak ada kenaikan suku bunga acuan sama sekali di tahun ini.
Bahkan, menurut survei yang dilakukan CME, 97% pelaku pasar yakin bahwa The Fed benar-benar tidak akan menaikkan suku bunga di tahun 2019.
Itu artinya perekonomian AS bisa lebih leluasa untuk berkembang, yang sebelumnya selalu dalam bayang-bayang perlambatan ekonomi.
Disamping itu, perang dagang AS-China yang diperirakan akan mereda tahun ini juga ikut meredam kekhawatiran pasar. Meskipun hasilnya tidak dalam bentuk konkrit, namun secara umum memberikan kesan positif.
Kedua negara bersepakat untuk melanjutkan kerjasama dagangnya, dan saling menguntungkan di kemudian hari. Wajar saja, karena dampak-dampak pertikaian keduanya sudah mulai terasa, meskipun sepertinya China terdampak lebih parah.
(TIM RISET CNBCÂ INDONESIA)
(taa/gus) Next Article Ukur Sentimen Pendorong Koreksi Harga Batu Bara
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular