Data China Memble, Dialog Dagang 'Kentang', Rupiah Ngerem

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
10 January 2019 09:28
Data China Memble, Dialog Dagang 'Kentang', Rupiah Ngerem
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun apresiasi rupiah mulai melambat, sesuatu yang memunculkan kekhawatiran mengingat kejadian dalam 2 hari terakhir. 

Pada Kamis (10/1/2019) pukul 09:18 WIB, US$ 1 di pasar spot dibanderol Rp 14.090. Rupiah menguat 0,21% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya. 

Meski masih menguat, tetapi sejatinya laju apresiasi rupiah agak ngerem. Kala pembukaan pasar, rupiah masih menguat 0,5%. Bahkan kemudian penguatannya menebal ke kisaran 0,6%. 

Oleh karena itu, wajar jika muncul kekhawatiran rupiah bisa berbalik arah. Ini yang terjadi dalam 2 hari perdagangan sebelumnya. 

Kemarin, rupiah berhasil menguat setelah sempat terdepresiasi sejak jelang tengah hari. Padahal rupiah mampu dibuka menguat. 

Sehari sebelumnya rupiah lebih apes. Dibuka menguat dan bahkan sampai mendorong dolar AS ke bawah Rp 14.000, rupiah jatuh ke zona merah sebelum tengah hari dan bertahan di sana hingga penutupan pasar. 

Oleh karena itu, investor tetap harus mawas diri. Meski rupiah menguat, tetapi masih ada kemungkinan untuk berbalik arah. 


Di Asia, berbagai mata uang juga mulai limbung dan sebagian sudah melemah terhadap dolar AS. Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang Benua Kuning pada pukul 09:18 WIB: 




(BERLANJUT KE HALAMAN 2)

Perkembangan kurang menggembirakan ini datang setelah rilis data ekonomi terbaru di China. Biro Statistik China menyebutkan, inflasi di tingkat produsen (PPI) pada Desember 2018 sebesar 0,9% year-on-year (YoY). Ini merupakan laju paling lambat sejak September 2016. 

Sementara inflasi di tingkat konsumen (CPI) tercatat 1,9% YoY. Lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun Reuters yaitu 2,1% YoY. 

Kemudian China Passenger Car Association merilis data penjualan mobil di China sepanjang 2018 sebanyak 22,35 juta unit. Turun 5,8% dibandingkan tahun sebelumnya, penurunan pertama sejak 1992. 

Data-data tersebut memberi konfirmasi bahwa perlambatan ekonomi Negeri Tirai Bambu bukan sekadar mitos. Baik produsen maupun konsumen sama-sama kurang agresif bin ekspansif. 

Investor juga sepertinya menyoroti hasil pertemuan dagang AS-China di Beijing yang berakhir kemarin. Meski secara umum hasilnya positif, tetapi mungkin agak kurang 'nendang'. Bahasa sekarang, istilahnya kentang (kena tanggung). 

"Kedua pihak menjalani diskusi yang meluas, dalam, dan menyeluruh mengenai isu-isu struktural dan perdagangan. Intinya, terjadi kesepahaman bersama yang menjadi dasar resolusi. Kedua negara juga sepakat untuk terus menjalin hubungan yang erat," sebut pernyataan Kementerian Perdagangan China, mengutip Reuters. 

Sementara dari pihak AS, US Trade Representative menyebut China berkomitmen untuk membeli lebih banyak produk Negeri Paman Sam. Mulai dari produk pertanian, energi, sampai manufaktur. Namun tidak disebutkan secara spesifik mengenai produk-produknya, jumlah/nilai pembelian, dan jangka waktu. 

Investor memberi apresiasi bahwa Beijing dan Washington semakin akur dan tidak lagi terlibat perang dagang. Namun pelaku pasar juga bimbang, karena pertemuan 3 hari Beijing tersebut seolah tidak memberikan hasil yang konkret. Masih sangat umum dan terkesan mengambang. 

Kabar-kabar dari China itu membuat investor gamang dan memilih wait and see untuk melihat dinamika berikutnya. Sikap ini menyebabkan mata uang Asia agak goyang karena berkurangnya pasokan modal. 


TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular