
Dolar AS Merana, Rupiah Perkasa, Tapi Jangan Terlena
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
09 January 2019 09:48

Akibatnya, berbagai mata uang dunia berani berbicara banyak di hadapan dolar AS. Salah satunya rupiah, yang mampu menguat tajam terhadap greenback.
Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 1,63%. Penguatan rupiah lebih tajam ketimbang mata uang utama Asia lainnya, seperti yen Jepang (0,76%), yuan China (0,34%), dolar Singapura (0,37%), atau ringgit Malaysia (0,34%).
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyambut gembira keperkasaan rupiah pada awal tahun ini. Penguatan rupiah dinilai sebagai bentuk kepercayaan investor terhadap Indonesia.
"Faktor utama (penguatan rupiah) adalah confidence pasar dan semakin bekerjanya pasar valas dalam negeri," kata Perry Warjiyo, Gubernur BI, akhir pekan lalu.
"Posisi Indonesia berbeda dengan negara yang selama ini mengalami volatilitas dan vulnerabilitas lebih tinggi. Kita bisa gain atau bisa mendapatkan manfaat dalam bentuk capital flow (arus modal asing)," sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Harapan dan pujian terhadap rupiah memang wajar. Namun apakah kemudian Indonesia bisa berleha-leha?
Jawabannya tidak. Sebab apa yang terjadi saat ini menyimpan risiko besar yang harus diwaspadai.
Pertama, perlambatan ekonomi AS akan menyeret perekonomian global. Maklum, AS adalah perekonomian nomor 1 di planet bumi. Ketika AS sebagai lokomotif memperlambat laju, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut melambat.
Saat ekonomi dunia tidak lagi kencang, maka bisa menyebabkan investor bermain aman. Apabila hasrat investor untuk memburu aset-aset berisiko turun, maka pasar keuangan Indonesia akan terancam. Capital inflow akan berubah menjadi capital outflow.
Arus modal asing akan berkurang sehingga rupiah minim modal untuk menguat. Ketika itu terjadi, maka bersiaplah rupiah akan berbalik arah.
Belum lagi rupiah masih menyimpan kerentanan di dalam negeri berupa defisit transaksi berjalan (current account deficit). Perry mengakui bahwa pada kuartal IV-2018 defisit transaksi berjalan masih akan cukup besar yaitu di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, sektor perdagangan. Devisa dari pos ini dinilai lebih mampu menopang mata uang karena sifatnya yang berjangka panjang.
Tidak seperti portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi kapan saja. Defisit transaksi berjalan berarti pasokan valas dari sektor perdagangan seret cenderung kurang. Artinya, fundamental penopang rupiah menjadi rapuh sehingga rupiah rentan mengalami koreksi.
Kesimpulannya, Indonesia tidak boleh terlalu lama terlena dengan kelesuan dolar AS yang menyebabkan rupiah perkasa. Sebab ke depan, situasi ini bisa menjadi sumber masalah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Sejak awal tahun hingga kemarin, rupiah menguat 1,63%. Penguatan rupiah lebih tajam ketimbang mata uang utama Asia lainnya, seperti yen Jepang (0,76%), yuan China (0,34%), dolar Singapura (0,37%), atau ringgit Malaysia (0,34%).
Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) menyambut gembira keperkasaan rupiah pada awal tahun ini. Penguatan rupiah dinilai sebagai bentuk kepercayaan investor terhadap Indonesia.
"Posisi Indonesia berbeda dengan negara yang selama ini mengalami volatilitas dan vulnerabilitas lebih tinggi. Kita bisa gain atau bisa mendapatkan manfaat dalam bentuk capital flow (arus modal asing)," sebut Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.
Harapan dan pujian terhadap rupiah memang wajar. Namun apakah kemudian Indonesia bisa berleha-leha?
Jawabannya tidak. Sebab apa yang terjadi saat ini menyimpan risiko besar yang harus diwaspadai.
Pertama, perlambatan ekonomi AS akan menyeret perekonomian global. Maklum, AS adalah perekonomian nomor 1 di planet bumi. Ketika AS sebagai lokomotif memperlambat laju, maka gerbong-gerbong di belakangnya akan ikut melambat.
Saat ekonomi dunia tidak lagi kencang, maka bisa menyebabkan investor bermain aman. Apabila hasrat investor untuk memburu aset-aset berisiko turun, maka pasar keuangan Indonesia akan terancam. Capital inflow akan berubah menjadi capital outflow.
Arus modal asing akan berkurang sehingga rupiah minim modal untuk menguat. Ketika itu terjadi, maka bersiaplah rupiah akan berbalik arah.
Belum lagi rupiah masih menyimpan kerentanan di dalam negeri berupa defisit transaksi berjalan (current account deficit). Perry mengakui bahwa pada kuartal IV-2018 defisit transaksi berjalan masih akan cukup besar yaitu di kisaran 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan menggambarkan aliran devisa dari ekspor-impor barang dan jasa, sektor perdagangan. Devisa dari pos ini dinilai lebih mampu menopang mata uang karena sifatnya yang berjangka panjang.
Tidak seperti portofolio di sektor keuangan yang bisa datang dan pergi kapan saja. Defisit transaksi berjalan berarti pasokan valas dari sektor perdagangan seret cenderung kurang. Artinya, fundamental penopang rupiah menjadi rapuh sehingga rupiah rentan mengalami koreksi.
Kesimpulannya, Indonesia tidak boleh terlalu lama terlena dengan kelesuan dolar AS yang menyebabkan rupiah perkasa. Sebab ke depan, situasi ini bisa menjadi sumber masalah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular