Kenapa Rupiah Sulit Bertahan Lama di Level Rp 13.000/US$?
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
08 January 2019 09:23

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar dolar Amerika Serikat (AS) masih menguat di perdagangan pasar spot hari ini. Namun dolar AS terlihat begitu sulit ditekan ke bawah Rp 14.000.
Pada Selasa (8/1/2019) pukul 09:17 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.025. Rupiah menguat 0,43% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Beberapa saat lalu, penguatan rupiah sempat lebih tajam dan dolar AS berhasil didorong ke kisaran Rp 13.000. Namun itu tidak berlangsung lama, dan dolar AS kembali mampu menembus level Rp 14.000.
Apa yang membuat level Rp 13.000/US$ begitu sulit dipertahankan? Setidaknya ada tiga penyebab.
Pertama, rupiah memang sudah agak lama tidak berada di level itu. Kali terakhir rupiah berada di kisaran Rp 13.900 adalah pada pekan keempat Juni 2018. Kira-kira setengah tahun lalu. Oleh karena itu, perlu waktu bagi rupiah untuk beradaptasi dan kembali mencicipi level Rp 13.000/US$.
Kedua, harus diakui bahwa penguatan rupiah akhir-akhir ini agak terlampau cepat. Sejak awal tahun sampai kemarin, rupiah sudah menguat 2,17% terhadap dolar AS.
Penguatan rupiah dalam periode tersebut juga menjadi yang terbaik dibandingkan mata uang Asia lainnya. Misalnya yen Jepang menguat 1,28%, yuan China menguat 0,38%, dolar Singapura menguat 0,42%, dan ringgit Malaysia menguat 0,43%.
Di balik penguatan tajam yang berlangsung selama beberapa waktu, tersimpan risiko ambil untung alias profit taking. Saat penguatan rupiah sudah begitu tajam, sebagian investor akan merasa keuntungan yang diperoleh sudah cukup menggiurkan untuk dicairkan.
Ketika investor ramai-ramai mencairkan cuan, maka rupiah akan terkena tekanan jual dan akan sulit menguat lebih lanjut. Bisa jadi faktor ini sangat berperan pagi ini, dan membuat dolar AS persisten di kisaran Rp 14.000.
Ketiga, rupiah masih dibayangi risiko tekanan di transaksi berjalan (current account). Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warijyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 sekitar US$ 8 miliar atau di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini dianggap lebih mampu menopang mata uang, karena sifatnya yang jangka panjang. Tidak seperti devisa dari arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Defisit transaksi berjalan artinya pasokan valas dari sektor perdagangan minim atau bahkan tekor. Artinya rupiah akan kekurangan pijakan untuk menguat, fundamental penopang rupiah menjadi rapuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Pada Selasa (8/1/2019) pukul 09:17 WIB, US$ 1 dihargai Rp 14.025. Rupiah menguat 0,43% dibandingkan posisi penutupan perdagangan sehari sebelumnya.
Beberapa saat lalu, penguatan rupiah sempat lebih tajam dan dolar AS berhasil didorong ke kisaran Rp 13.000. Namun itu tidak berlangsung lama, dan dolar AS kembali mampu menembus level Rp 14.000.
Apa yang membuat level Rp 13.000/US$ begitu sulit dipertahankan? Setidaknya ada tiga penyebab.
Pertama, rupiah memang sudah agak lama tidak berada di level itu. Kali terakhir rupiah berada di kisaran Rp 13.900 adalah pada pekan keempat Juni 2018. Kira-kira setengah tahun lalu. Oleh karena itu, perlu waktu bagi rupiah untuk beradaptasi dan kembali mencicipi level Rp 13.000/US$.
Kedua, harus diakui bahwa penguatan rupiah akhir-akhir ini agak terlampau cepat. Sejak awal tahun sampai kemarin, rupiah sudah menguat 2,17% terhadap dolar AS.
Penguatan rupiah dalam periode tersebut juga menjadi yang terbaik dibandingkan mata uang Asia lainnya. Misalnya yen Jepang menguat 1,28%, yuan China menguat 0,38%, dolar Singapura menguat 0,42%, dan ringgit Malaysia menguat 0,43%.
Di balik penguatan tajam yang berlangsung selama beberapa waktu, tersimpan risiko ambil untung alias profit taking. Saat penguatan rupiah sudah begitu tajam, sebagian investor akan merasa keuntungan yang diperoleh sudah cukup menggiurkan untuk dicairkan.
Ketika investor ramai-ramai mencairkan cuan, maka rupiah akan terkena tekanan jual dan akan sulit menguat lebih lanjut. Bisa jadi faktor ini sangat berperan pagi ini, dan membuat dolar AS persisten di kisaran Rp 14.000.
Ketiga, rupiah masih dibayangi risiko tekanan di transaksi berjalan (current account). Kemarin, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warijyo mengungkapkan defisit transaksi berjalan pada kuartal IV-2018 sekitar US$ 8 miliar atau di atas 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Transaksi berjalan adalah neraca yang menggambarkan pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa. Devisa dari sektor ini dianggap lebih mampu menopang mata uang, karena sifatnya yang jangka panjang. Tidak seperti devisa dari arus modal portofolio di sektor keuangan alias hot money, yang bisa datang dan pergi sesuka hati.
Defisit transaksi berjalan artinya pasokan valas dari sektor perdagangan minim atau bahkan tekor. Artinya rupiah akan kekurangan pijakan untuk menguat, fundamental penopang rupiah menjadi rapuh.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular