
Demi Rupiah, BI yang Kalem Berubah Jadi Trengginas
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 14:52

Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun ini menjadi periode yang sibuk bagi Bank Indonesia (BI). Bank sentral mengubah posisi (stance) kebijakan moneter, menaikkan suku bunga acuan sampai enam kali, semua demi menjaga rupiah.
Menarik untuk melihat kilas balik kebijakan moneter sepanjang 2018. Pada awal-awal tahun, BI yang masih dipimpin Agus DW Martowardojo menegaskan bahwa stance kebijakan moneter adalah netral.
Artinya, tidak memihak kepada satu poros apakah itu stabilitas atau pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter tidak diarahkan untuk mendorong ekonomi maupun memperlambatnya.
"Stance kebijakan moneter Bank Indonesia adalah netral. Hal ini sejalan dengan terjaganya makroekonomi yang stabil dan sistem keuangan yang juga stabil," tegas Agus dalam konferensi pers usai Rapat Dewan Gubernur (RDG) BI edisi Februari 2018.
Wajar apabila saat itu BI masih agak adem ayem. Pasalnya, pasar keuangan Indonesia tengah melaju kencang melanjutkan penguatan yang terjadi sejak akhir 2017.
Dari 1 Januari sampai 26 Januari, rupiah masih menguat 2,05% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan menjalani reli sampai 19 Februari dengan lonjakan 5,25% sejak awal tahun. Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 21,5 basis poin (bps) sejak awal tahun.
Investor global memang sedang semringah, karena kebijakan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) di AS. Wall Street menjalani reli panjang sejak akhir 2017 yang berlanjut hingga awal 2018, karena pemangkasan pajak menjanjikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.
Namun investor kemudian menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kencang akan menyebabkan The Federal Reserve/The Fed campur tangan. Apalagi saat dilantik menggantikan Janet Yellen sebagai Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell bersumpah untuk menghindarkan ekonomi AS dari risiko overheating, kondisi di mana permintaan tumbuh jauh melampaui penawaran sehingga menyebabkan tekanan inflasi tinggi.
The Fed pun memulai siklus kenaikan suku bunga acuan pada Maret 2018. Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018, tetapi kenyataannya bahkan sampai empat kali.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Permintaan obligasi pemerintah Presiden Donald Trump pun meningkat, yang otomatis mendongrak permintaan terhadap dolar AS.
Akibatnya, dolar AS menjadi raja mata uang dunia. Hampir seluruh mata uang dunia bertekuk lutut di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah.
Ditambah lagi ada sentimen negatif besar di perekonomian global bernama perang dagang AS vs China. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan terganggu dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perang dagang kemudian memancing investor untuk bermain aman. Pilihan utamanya adalah masuk ke dolar AS, karena selain aman juga menjanjikan keuntungan karena kenaikan suku bunga acuan.
Masa bulan madu rupiah pun berakhir singkat. Mulai 26 Januari, rupiah memasuki masa-masa yang penuh onak dan duri. Rupiah terus melemah, bahkan hingga menyentuh titik terlemah sejak 1998 yaitu Rp 15.265/US$ pada Oktober.
Menarik untuk melihat kilas balik kebijakan moneter sepanjang 2018. Pada awal-awal tahun, BI yang masih dipimpin Agus DW Martowardojo menegaskan bahwa stance kebijakan moneter adalah netral.
Artinya, tidak memihak kepada satu poros apakah itu stabilitas atau pertumbuhan ekonomi. Kebijakan moneter tidak diarahkan untuk mendorong ekonomi maupun memperlambatnya.
Wajar apabila saat itu BI masih agak adem ayem. Pasalnya, pasar keuangan Indonesia tengah melaju kencang melanjutkan penguatan yang terjadi sejak akhir 2017.
Dari 1 Januari sampai 26 Januari, rupiah masih menguat 2,05% terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Sementara Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) bahkan menjalani reli sampai 19 Februari dengan lonjakan 5,25% sejak awal tahun. Sedangkan imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun turun 21,5 basis poin (bps) sejak awal tahun.
Investor global memang sedang semringah, karena kebijakan pemangkasan tarif Pajak Penghasilan (PPh) di AS. Wall Street menjalani reli panjang sejak akhir 2017 yang berlanjut hingga awal 2018, karena pemangkasan pajak menjanjikan dorongan bagi pertumbuhan ekonomi Negeri Paman Sam.
Namun investor kemudian menyadari bahwa pertumbuhan ekonomi AS yang kencang akan menyebabkan The Federal Reserve/The Fed campur tangan. Apalagi saat dilantik menggantikan Janet Yellen sebagai Gubernur The Fed, Jerome 'Jay' Powell bersumpah untuk menghindarkan ekonomi AS dari risiko overheating, kondisi di mana permintaan tumbuh jauh melampaui penawaran sehingga menyebabkan tekanan inflasi tinggi.
The Fed pun memulai siklus kenaikan suku bunga acuan pada Maret 2018. Pelaku pasar memperkirakan The Fed akan menaikkan suku bunga acuan tiga kali sepanjang 2018, tetapi kenyataannya bahkan sampai empat kali.
Kenaikan suku bunga acuan akan ikut mengerek imbalan investasi di AS, khususnya di instrumen berpendapatan tetap seperti obligasi. Permintaan obligasi pemerintah Presiden Donald Trump pun meningkat, yang otomatis mendongrak permintaan terhadap dolar AS.
Akibatnya, dolar AS menjadi raja mata uang dunia. Hampir seluruh mata uang dunia bertekuk lutut di hadapan greenback, tidak terkecuali rupiah.
Ditambah lagi ada sentimen negatif besar di perekonomian global bernama perang dagang AS vs China. Ketika dua kekuatan ekonomi terbesar di planet bumi saling hambat perdagangan, maka rantai pasok global akan terganggu dan pertumbuhan ekonomi melambat.
Perang dagang kemudian memancing investor untuk bermain aman. Pilihan utamanya adalah masuk ke dolar AS, karena selain aman juga menjanjikan keuntungan karena kenaikan suku bunga acuan.
Masa bulan madu rupiah pun berakhir singkat. Mulai 26 Januari, rupiah memasuki masa-masa yang penuh onak dan duri. Rupiah terus melemah, bahkan hingga menyentuh titik terlemah sejak 1998 yaitu Rp 15.265/US$ pada Oktober.
(BERLANJUT KE HALAMAN 2)
Next Page
BI Tidak Bisa Netral Lagi
Pages
Most Popular