
Demi Rupiah, BI yang Kalem Berubah Jadi Trengginas
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
31 December 2018 14:52

Melihat rupiah yang terus teraniaya, BI tidak bisa lagi bersikap netral. Mau tidak mau, BI harus mengubah stance dan harus mulai berpihak. Tidak ada lagi istilah netral atau jalan tengah.
Langkah itu diumumkan oleh Perry Warjiyo yang menggantikan Agus di kursi BI-1. Dalam RDG BI edisi Juni 2018, Perry menegaskan bahwa stance BI sudah berubah dari netral menjadi ketat. Diawali dengan kenaikan suku bunga acuan pada Juni sebesar 25 bps, melanjutkan kebijakan serupa sebulan sebelumnya.
"Dengan kenaikan ini, stance moneter BI beralih dari netral ke cenderung ketat. Bahkan sedikit di atas cenderung ketat, ke arah ketat," katanya kala itu.
Kenaikan suku bunga acuan, seperti halnya di AS, diharapkan membuat pasar keuangan Indonesia (utamanya di instrumen fixed income) menjadi atraktif dan kompetitif. Masuknya arus modal asing bisa menjadi pijakan bagi penguatan rupiah.
Suku bunga acuan juga tidak lagi diarahkan untuk menjangkar ekspektasi inflasi, melainkan mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account). Sebab selain strong dollar (yang di luar kewenangan BI), biang keladi depresiasi rupiah adalah di pos ini. Minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa membuat rupiah tidak punya modal untuk menguat.
Dengan menaikkan suku bunga acuan, maka diharapkan aktivitas ekonomi akan sedikit melambat. Dampaknya adalah impor akan mereda sehingga defisit transaksi berjalan bisa diringankan.
"Memang ke depan kalau suku bunga meningkat pasti akan mempengaruhi investasi dan impor. Defisit trade balance akan berkurang seiring investasi yang berkurang. Current account masih perlu dibantu, BI masuk dengan kebijakan suku bunga untuk meredam domestic demand. Kita cegah defisit transaksi berjalan terus melebar dan berdampak ke nilai tukar," jelas Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI.
Current account driven monetary policy ini menghasilkan kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai enam kali sepanjang 2018. BI yang kalem pada awal tahun berubah menjadi begitu trengginas demi menyelamatkan rupiah.
Namun sebagai penyeimbang, BI tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi berupaya kebijakan makroprudensial. Misalnya dengan pelonggaran uang muka pembelian rumah, kewajiban Giro Wajib Minimum dengan memperkenalkan konsep rata-rata (averaging), dan sebagainya.
Dalam hitungan jam, 2018 akan segera berlalu. BI bisa menghembuskan nafas lega untuk sementara setelah bergulat menghadapi tahun yang begitu menantang. Namun tugas belum selesai, karena 2019 mungkin saja menyajikan ketegangan yang lebih mencekam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Langkah itu diumumkan oleh Perry Warjiyo yang menggantikan Agus di kursi BI-1. Dalam RDG BI edisi Juni 2018, Perry menegaskan bahwa stance BI sudah berubah dari netral menjadi ketat. Diawali dengan kenaikan suku bunga acuan pada Juni sebesar 25 bps, melanjutkan kebijakan serupa sebulan sebelumnya.
"Dengan kenaikan ini, stance moneter BI beralih dari netral ke cenderung ketat. Bahkan sedikit di atas cenderung ketat, ke arah ketat," katanya kala itu.
Suku bunga acuan juga tidak lagi diarahkan untuk menjangkar ekspektasi inflasi, melainkan mengendalikan defisit transaksi berjalan (current account). Sebab selain strong dollar (yang di luar kewenangan BI), biang keladi depresiasi rupiah adalah di pos ini. Minimnya pasokan devisa dari ekspor-impor barang dan jasa membuat rupiah tidak punya modal untuk menguat.
Dengan menaikkan suku bunga acuan, maka diharapkan aktivitas ekonomi akan sedikit melambat. Dampaknya adalah impor akan mereda sehingga defisit transaksi berjalan bisa diringankan.
"Memang ke depan kalau suku bunga meningkat pasti akan mempengaruhi investasi dan impor. Defisit trade balance akan berkurang seiring investasi yang berkurang. Current account masih perlu dibantu, BI masuk dengan kebijakan suku bunga untuk meredam domestic demand. Kita cegah defisit transaksi berjalan terus melebar dan berdampak ke nilai tukar," jelas Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI.
Current account driven monetary policy ini menghasilkan kenaikan BI 7 Day Reverse Repo Rate sampai enam kali sepanjang 2018. BI yang kalem pada awal tahun berubah menjadi begitu trengginas demi menyelamatkan rupiah.
Namun sebagai penyeimbang, BI tetap memberikan stimulus bagi pertumbuhan ekonomi berupaya kebijakan makroprudensial. Misalnya dengan pelonggaran uang muka pembelian rumah, kewajiban Giro Wajib Minimum dengan memperkenalkan konsep rata-rata (averaging), dan sebagainya.
Dalam hitungan jam, 2018 akan segera berlalu. BI bisa menghembuskan nafas lega untuk sementara setelah bergulat menghadapi tahun yang begitu menantang. Namun tugas belum selesai, karena 2019 mungkin saja menyajikan ketegangan yang lebih mencekam.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Most Popular