Jakarta, CNBC Indonesia - Pergerakan
rupiah pada hari ini terus membuat investor geleng-geleng kepala. Dibuka melemah 0,17% di pasar
spot ke level Rp 14.575/dolar AS, rupiah terus memperlebar kekalahannya di hadapan greenback. Hingga pukul 13:00 WIB, rupiah melemah 0,27% ke level Rp 14.590/dolar AS.
Nasib rupiah senada dengan mayoritas mata uang negara-negara tetangga yang juga melemah. Namun, pelemahan rupiah menjadi yang terburuk.
Rupiah bahkan sempat melemah hingga ke level level Rp 14.605/dolar AS, menyentuh titik terlemahnya dalam sebulan lebih.
Investor memilih bermain aman dengan memeluk dolar AS selaku safe haven, seiring dengan konfirmasi datangnya resesi yang kian dekat.
Pada perdagangan tanggal 4 Desember, terjadi inversi spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun. Pada akhir perdagangan hari itu, spread yield obligasi AS tenor 3 dan 5 tahun adalah sebesar 2 basis poin (bps). Hal ini merupakan indikasi awal dari datangnya resesi di AS.
Melansir CNBC International yang mengutip Bespoke, dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS (1990, 2001, dan 2007), inversi pertama spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun datang rata-rata 26,3 bulan sebelum resesi dimulai.
Namun, konfirmasi datangnya resesi tak cukup mengandalkan spread yield obligasi tenor 3 dan 5 tahun. Konfirmasi biasanya datang dari spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun.
Pasalnya dalam 3 resesi terakhir yang terjadi di AS, juga selalu terjadi inversi pada spread yield obligasi tenor 3 bulan dan 10 tahun. Kajian dari Bespoke menunjukkan bahwa inversi pada kedua tenor ini terjadi rata-rata 89 hari setelah inversi pertama pada obligasi tenor 3 dan 5 tahun.
Pada perdagangan hari ini, spread yield antara kedua tenor tersebut adalah sebesar -29 bps. Memang belum terjadi inversi, tapi nilainya jauh menipis dari posisi penutupan terakhirnya (24/12/2018) yang sebesar -37 bps atau semakin mengarah ke inversi.
Jika dibandingkan dengan posisi awal November yang sebesar -82 bps, penipisan yang terjadi menjadi kian parah.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan menglami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut. Sejatinya, ada sentimen positif yang mewarnai jalannya perdagangan, yakni anjloknya harga minyak mentah dunia. Pada penutupan perdagangan hari Senin (24/12/2018), harga minyak WTI kontrak pengiriman Januari 2019 anjlok 6,7% ke level US$ 42,53/barel, sementara minyak brent kontrak pengiriman Februari 2019 anjlok 6,2% ke level US$ 50,47/barel.
Anjloknya harga minyak mentah tentu menjadi kabar yang menyenangkan bagi rupiah, lantaran memantik optimisme bahwa defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD) bisa diredam pada kuartal terakhir di tahun ini.
Sebagai informasi, pada kuartal-III 2018 CAD mencapai 3,37% dari Produk Domestik Bruto (PDB), terdalam sejak kuartal II-2014, seiring dengan besarnya defisit perdagangan minyak dan gas (migas).
Namun, kuatnya dorongan untuk mengoleksi safe haven membuat anjloknya harga minyak mentah dunia tak mampu berbicara banyak dalam menyokong kinerja mata uang Garuda. Rapor merah rupiah dibukukan kala Bank Indonesia (BI) sudah turun tangan dengan melakukan intervensi di pasar spot.
"Untuk mencegah pelemahan rupiah yang tajam, BI langsung masuk ke pasar spot. BI membuka lelang DNDF pukul 08:30 yang dilakukan secara reguler tiap hari," kata Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah, Rabu (26/12/2018).
"BI memenangkan seluruh incoming bid dari bank sebesar US$ 70 juta untuk tenor 1 bulan. BI juga stand ready di pasar SBN untuk mencegah aksi jual yang berlebihan," jelasnya.
Dengan meihat kinerja rupiah yang masih saja seperti ini kala BI sudah melakukan intervensi, besar kemungkinan rupiah akan menempati posisi juru kunci pada akhir perdagangan.
TIM RISET CNBC INDONESIA